Hot Topic Nasional

Evaluasi Pemanfaatan Teknologi Pendidikan, P2G Sebut Data Anak Justru ‘Ditambang’ Perusahaan Edtech

Channel9.id – Jakarta. Dalam Education Working Group (EDWG) G-20, Indonesia mengajukan pemanfaatan teknologi dalam pendidikan sebagai jalan keluar krisis dan masa pemulihan setelah pandemi Covid-19. Kementerian dan berbagai Perusahaan Teknologi Edukasi (Edtech) dalam negeri pun bergandengan untuk mensukseskan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Namun, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menganggap optimisme yang dibangun itu berbanding terbalik dengan keadaan dalam negeri. P2G menilai learning loss tetap terjadi pada anak di Indonesia.

Selain itu, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G Iman Zanatul Haeri mengatakan, bukannya mengembalikan pembelajaran yang hilang, data anak-anak bangsa justru ditambang oleh perusahaan Edtech.

“Human Right Watch (HRW) mencatat bahwa 164 Edtech di dunia melanggar privasi anak, termasuk di Indonesia. Selama pandemik Edtech justru melakukan praktik menambang data anak,” kata Iman dalam keterangan tertulis, Selasa (2/5/2023).

Di sisi lain, lanjut Iman, guru menghadapi kesenjangan digital, surplus pelatihan, kelebihan beban administrasi yang dituntut oleh aplikasi dari kementerian, serta tuntutan untuk membuat konten digital.

“Penambangan data juga terjadi pada guru. Beragam pelatihan digital serta kurikulum merdeka justru diinisiasi Edtech yang merasa lebih memahami kurikulum merdeka,” lanjut Iman.

Di Jakarta, Dinas Pendidikan bekerjasama dengan salah satu platform swasta yang mewajibkan guru, orang tua, siswa dan sekolah mengisi modul. Dalam modul tersebut, sejumlah pertanyaan adalah data pribadi dan data lain yang bisa digunakan untuk memetakan perilaku seseorang (konsumen).

Belum lagi karena ketidakmampuan kementerian membangun data awan (cloud) yang berdaulat, lanjut Iman, kementerian membuat kebijakan akun belajar yang sebenarnya adalah paket layanan dari google yang bisa menyerap semua data dari dinas pendidikan, sekolah, siswa, guru, bahkan aktivitas mereka.

Disisi lain, Platform Merdeka Mengajar (PMM) ala Kemdikbudristek telah menjadi produk layanan yang dikampanyekan sangat masif. Di lapangan, guru-guru selalu ditekan sekolah, pengawas dan dinas pendidikan agar segera menginstal aplikasi tersebut. Bahkan dilakukan pengecekan oleh Dinas Pendidikan terhadap sekolah dan guru, sehingga terdata bagi guru yang tidak menginstal dan mengerjakan tumpukan tugas di dalamnya.

Sementara itu, aplikasi ini menjadi kurang berguna bagi guru yang tidak memiliki gawai memadai, dan di pelosok yang minim listrik dan nirkoneksi internet.

“Dulu guru dibebani administrasi, sekarang dibebani aplikasi. Ternyata aplikasi tidak menyederhanakan dan memudahkan tugas guru,” cetus Iman.

Iman pun menyangkan apabila jumlah angka penginstal aplikasi ditargetkan sebagai capaian keberhasilan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) melalui PMM oleh Kemdikbudristek.

“Kami menilai beragam aplikasi dari kementerian tersebut belum menjawab janji efesiensi dalam digitalisasi pendidikan,” ungkap Iman.

Selain itu, masifnya penggunaan platform dalam pendidikan juga harus diantisipasi karena melahirkan Artificial Intelligence (AI) yang dibuat dengan logaritma yang menguntungkan pembuatnya.

Melalui Iman, P2G meminta pemerintah agar membuat protokol AI for Education (AIED) seperti yang dilakukan di Uni Eropa. AIED ini berisi batasan etis, privasi, potensi lahirnya bias, dan pengutamaan hak yang berkeadilan dalam pendidikan.

“Kontrol AI dalam Pendidikan akan semakin besar. Protokol AIED harus segera dibuat pemerintah, agar sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, bukan tujuan komersil pembuat Platform,” tambah Iman.

Baca juga: Hardiknas 2023, P2G: Persoalan Guru PPPK, Cermin Buruk Tata Kelola Guru di Tanah Air

Baca juga: Hardiknas 2023, P2G Desak Kemendikbudristek Lakukan Evaluasi Merdeka Mengajar

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

9  +  1  =