Oleh: Eva Riana Rusdi*
Channel9.id-Jakarta. Festival Tabut di Bengkulu menawarkan studi kasus menarik tentang bagaimana sebuah tradisi keagamaan dapat bertransformasi menjadi identitas budaya yang kuat. Perayaan yang berlangsung selama sepuluh hari setiap tanggal 1 sampai 10 bulan Muharram ini bukan sekadar festival biasa, melainkan cerminan kompleks dari dinamika budaya, adaptasi sosial, dan pembentukan identitas kolektif masyarakat Bengkulu.
Akar Sejarah Tradisi Tabut
Untuk memahami Festival Tabut, kita harus kembali ke tragedi Karbala pada tahun 680 Masehi. Di sinilah Imam Husein, cucu Nabi Muhammad, terbunuh dalam pertempuran yang kemudian menjadi simbol perjuangan dan pengorbanan dalam tradisi Syiah. Tabut sendiri merupakan representasi simbolik dari makam kecil yang digunakan dalam upacara takziyah—ekspresi dukacita mendalam umat Syiah.
Tradisi ini berakar dari budaya Persia pra-Islam yang kemudian diadopsi dan dikembangkan dalam konteks keagamaan Islam Syiah. Dari Persia, tradisi ini menyebar ke berbagai wilayah dengan populasi Syiah, termasuk India dan Asia Selatan. Di India, tradisi Tabut berkembang dengan karakteristik tersendiri, mengadopsi elemen-elemen lokal sambil mempertahankan makna spiritualnya.
Penyebaran Tradisi Tabut ke Bengkulu
Kedatangan tradisi Tabut ke Bengkulu pada abad ke-18 tidak bisa dilepaskan dari konteks pembangunan Fort Marlborough oleh Inggris. Para pekerja Muslim India yang terlibat dalam proyek ini membawa serta tradisi keagamaan mereka, termasuk perayaan Tabut. Mereka datang dengan membawa memori kolektif tentang ritual yang telah mereka praktikkan di tanah asal.
Yang menarik adalah bagaimana tradisi ini justru mengalami revitalisasi di Bengkulu, sementara di India sendiri praktik ini mulai memudar. Peneliti R. Michael Feener menjelaskan bahwa kondisi masyarakat Bengkulu yang multietnis dan pluralistik menjadi tanah subur bagi berkembangnya tradisi ini. Berbeda dengan masyarakat yang homogen secara religius, masyarakat Bengkulu melihat Tabut dari perspektif yang lebih luas.
Proses penyebaran ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Masyarakat Bengkulu, dengan latar belakang keberagaman etnis dan budaya, menyambut tradisi ini dengan cara yang unik. Mereka tidak hanya mengadopsi aspek ritualnya, tetapi juga mulai memaknainya dalam konteks budaya lokal mereka.
Dinamika Transformasi Budaya
Dinamika budaya yang terjadi pada Festival Tabut di Bengkulu menunjukkan proses adaptasi yang kompleks. Tradisi yang awalnya bersifat religius dan eksklusif secara bertahap mengalami sekularisasi dan inklusi. Masyarakat Bengkulu mulai melihat Tabut bukan hanya sebagai ritual keagamaan, tetapi sebagai warisan budaya yang menjadi bagian dari identitas mereka.
Transformasi ini tidak terjadi tanpa tantangan. Agus Setiyanto dari Universitas Bengkulu mencatat bahwa pesan-pesan moral universal dalam tradisi Tabut—seperti keadilan, pengorbanan, dan solidaritas—semakin tergeser oleh orientasi ekonomi dan hiburan. Festival ini mulai dilihat lebih sebagai atraksi wisata dan peluang bisnis ketimbang momen refleksi spiritual.
Namun, perubahan makna ini juga menunjukkan kecerdasan budaya masyarakat Bengkulu. Mereka berhasil mengekstrak nilai-nilai universal dari tradisi Tabut sambil mengadaptasinya dengan konteks sosial dan budaya lokal. Hasilnya adalah sebuah festival yang tetap bermakna tapi tidak eksklusif secara religius.
Dukungan pemerintah, terutama sejak era Orde Baru, turut mempercepat proses transformasi ini. Promosi besar-besaran terhadap Tabut sebagai warisan budaya nasional tidak hanya meningkatkan kesadaran masyarakat, tetapi juga melegitimasi perubahan maknanya dari ritual keagamaan menjadi festival budaya.
Signifikansi bagi Masyarakat Bengkulu
Bagi masyarakat Bengkulu masa kini, Festival Tabut memiliki makna yang berlapis. Festival ini berfungsi sebagai simbol identitas kolektif yang menunjukkan keunikan budaya mereka di tengah keberagaman Indonesia. Melalui Tabut, masyarakat Bengkulu menegaskan jati diri sebagai komunitas yang multikultural namun harmonis. Selain itu, festival Tabut menjadi media transmisi nilai-nilai moral kepada generasi muda. Meskipun konteks keagamaan aslinya mulai memudar, pesan-pesan tentang keadilan, pengorbanan, dan solidaritas tetap relevan sebagai kearifan lokal yang membimbing kehidupan bermasyarakat.
Dari sisi ekonomi, Tabut berperan sebagai katalis ekonomi lokal. Festival ini menarik wisatawan, menggerakkan sektor usaha kecil, dan membuka peluang kerja bagi masyarakat. Dimensi ekonomi ini penting bagi keberlanjutan tradisi, meskipun harus dijaga agar tidak menggerus makna substantifnya.
Dari sekian makna yang paling mendasar, kita dapat melihat bahwa festival ini menjadi simbol toleransi dan kerukunan antaretnis. Di daerah yang mayoritas beragama Islam namun dengan latar belakang etnis yang beragam, Tabut menunjukkan bahwa perbedaan dapat menjadi kekuatan yang memperkaya, bukan memecah belah.
Festival Tabut Bengkulu akhirnya adalah bukti hidup tentang dinamika budaya dalam masyarakat plural. Ia menunjukkan bahwa tradisi tidak harus statis untuk tetap bermakna. Yang penting adalah bagaimana sebuah komunitas mampu mengadaptasi warisan masa lalu dengan kebutuhan masa kini, tanpa kehilangan esensi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Baca juga: Signifikansi Pendidikan Sejarah: Mercusuar Peradaban dan Identitas Bangsa
*Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia – Rafflesia Institute