Oleh: Hardy R. Hermawan*
Channel9.id-Jakarta. Ketika Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan penurunan jumlah kelas menengah secara drastis di Indonesia, dari 53,33 juta penduduk (21,45%) pada 2019 menjadi “cuma” 47,85 juta (17,13%) pada 2024, alarm tanda bahaya harus segera dinyalakan. Jutaan warga yang jatuh miskin ini bakal sangat galau dan itu dapat memicu gejolak sosial serta ketidakstabilan keamanan. Mereka yang pernah masuk kelas menengah itu umumnya berpendidikan lumayan, jaringan sosial relatif luas, dan cukup berani menyuarakan kekesalan.
Maka diperlukan upaya menekan risiko sosial dari fenomena jatuh miskin massal tersebut. Perlindungan sosial bagi mereka sangatlah perlu. Bank Dunia (2012) menyebutkan bahwa perlindungan sosial mencakup jaring pengaman sosial serta penanggulangan pemisahan sosial. Pemerintah sendiri sudah menyiapkan Rp 504,7 triliun untuk program perlindungan sosial tahun 2025, nyaris 14% dari rencana belanja APBN 2025 yang Rp 3.613,1 triliun.
Masalahnya, belum tentu alokasi perlindungan sosial itu akan diterima oleh kaum miskin anyaran. Umumnya, perlindungan sosial diberikan bagi masyarakat yang sudah lama miskin. Selain itu, belum tentu data perlindungan sosial mampu merekam orang-orang miskin baru yang juga perlu perlindungan. Padahal, Basri, Hanna, dan Olken (2022), sudah jauh-jauh hari menyatakan, perlindungan sosial perlu diperluas kepada masyarakat kelas menengah bawah, terutama para pekerja korban PHK.
Nah, belakangan, jumlah pekerja yang ter-PHK juga kian banyak sehingga korban kelas menengah jatuh miskin diduga akan bertambah. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, jumlah pekerja yang ter-PHK, hingga 23 Agustus 2024, mencapai 45.762 orang. Tapi itu belum semuanya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPSI), dalam berita kompas.id pada 7 Agustus 2024, mencatat, pada Januari - Juni 2024 saja, jumlah pekerja ter-PHK sudah sebesar 101.536 orang.
Perbedaan jumlah pekerja ter-PHK itu menunjukkan bahwa data ketenagakerjaan kita masih semrawut. Boleh jadi, dalam kenyataannya, korban PHK jauh lebih banyak lagi, Celakanya, belum tentu mereka ini memiliki Jaminan Sosial (Jamsos) ketenagakerjaan. Sampai Februari 2024, BPS mencatat, jumlah penduduk yang bekerja di sector formal ada 58,05 juta orang. Padahal, jumlah peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan, hingga Januari 2024, hanya 42 juta orang dan pekerja formalnya ada 34,4 juta orang. Pekerja informal (bukan penerima upah) sekitar 7,6 juta orang. Ada selisih besar antara jumlah pekerja formal dan peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Jadi, akan banyak pekerja ter-PHK yang jatuh miskin secara terjun bebas. Mereka kehilangan pekerjaan tanpa dilindungi jamsos. Bahkan pesangon belum tentu didapatkan. Kalaupun dapat, skema pesangon saat ini, berdasarkan UU Cipta Kerja, menjadi sangat kecil. Makanya, gelombang PHK ini menjadi sangat berbahaya. Apalagi, kalangan serikat pekerja dan para pemberi kerja sama-sama meyakini, gekombang PHK masih akan terus terjadi dalam beberapa waktu ke depan.
Tak ayal, perlindungan sosial dalam bentuk Bantuan Sosial (bansos) bagi kelas menengah yang jatuh miskin, korban PHK, tidak bisa ditawar lagi. Pemerintah harus mengupayakan alokasi bagi kaum miskin baru, berupa bansos, dari anggaran yang Rp Rp 504,7 triliun itu tadi. Bila perlu, tambah lagi jumlah bansos itu agar benar-benar mencukupi kebutuhan dan mencegah kerusakan yang lebih dalam.
Sampai kapan? Entahlah. Situasi ekonomi dunia masih penuh ketidakpastian sehingga terus menekan ekonomi domestik. Tapi, membengkaknya nilai bansos dalam kerangka perlindungan sosial juga tidak boleh dibiarkan. Terlalu besarnya nilai bansos hanya mencerminkan bahwa upaya perlindungan sosial di Indonesia lebih didasarkan pada niat beramal dan kurang memberdayakan potensi setiap orang untuk menyejahterakan kehidupannya..
Pada dasarnya, perlindungan sosial adalah upaya pemerintah mendukung masyarakat menghadapi berbagai kerentanan di sepanjang siklus kehidupan. Dalam masa krisis, pemerintah memberikan perlindungan sosial untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama kaum miskin dan rentan. Perlindungan sosial diberikan dalam dua bentuk: bansos dan jamsos.
Bansos adalah program pemberian bantuan yang bersifat non-contributory (tanpa iuran), yang bersumber dari APBN dan/atau APBD. Sasaran program bansos adalah masyarakat miskin dan rentan. Mestinya, bansos ini bersifat sementara.
Lalu, jamsos adalah program yang bersifat contributory, ada kontribusi iuran dari peserta, pemberi kerja, dan/atau pemerintah. Jamsos adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat bisa memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dengan layak melalui upaya terencana, terstruktur, dan sistematis oleh pemerintah. Jamsos di Indonesia merupakan amanat konstitusi. Semakin efektif, efisien, dan berkelanjutan sebuah sistem jamsos, maka porsi bansos harus semakin kecil, kecuali ketika ada masalah mendesak dan sporadis.
Di Indonesia, porsi bansos masih cukup besar. John Murphy, guru besar University of Melbourne, saat berbicara dalam ‘Brown Bag Discussion: Social Protection in Indonesia Compared to ASEAN’ di Jakarta, Juli 2019 silam, menyatakan, jumlah bansos di Indonesia lebih besar dibandingkan negara lain di ASEAN. Ini memang menunjukkan komitmen tinggi dari pemerintah. Tapi, dana yang besar itu bukan berarti lebih baik. Sepertinya, Murphy hanya ingin mengatakan jika perlindungan social dan sistem jamsos di Indonesia masih belum terlalu OK.
Indonesia memerlukan transformasi dari program bansos menuju skema jamsos yang lebih terstruktur dan bersifat jangka panjang. Makanya, ketika memberikan tambahan bansos bagi kaum miskin (baru dan lama), upayakan pula perluasan jamsos secara massif. Kita tak punya banyak waktu. Dalam 20 tahun, penduduk Indonesia akan menua dan mereka akan semakin sulit memberikan kontribusi bagi sistem jamsos.
Akan lebih baik jika program bansos saat ini dilekatkan dengan kewajiban mengikuti skema jamsos. Untuk para pekerja formal ter-PHK, misalnya, dapat diberikan program prakerja disertai pemberian Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk jamsos ketenegakerjaan—selain PBI BPJS Kesehatan yang sudah ada sekarang ini.
Memang, menyiapkan PBI jamsos ketenagakerjaan itu tidak mudah. Tapi, manfaatnya terlalu besar untuk diabaikan. Pemerintah perlu serius mempertimbangkan alternatif sumber pembiayaan PBI, baik dari dana zakat, dana CSR, hasil cukai (sintax), atau pengalihaan subsidi energi.
Pertimbangkan lagi skema asuransi kesejahetraan sosial (Askesos) yang dulu diberlakukan bagi pekerja miskin di sektor informal, agar mereka dapat mengakses program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Sejak ada BPJS Ketenagakerjaan, Askesos dihapus. Tapi akses pekerja miskin infomal menjadi kurang diperhatikan. Jadi, pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja sama menyusun regulasi yang kuat soal ini. Setiap daerah harus mengeluarkan peraturan untuk mengoptimalkan kepesertaan jamsos dan memberikan jamsos kepada kelompok yang rentan, seperti pekerja informal. Bikin urusan pendaftaran pekerja informal tidak lagi rumit. Buatkan regulasi agar mitra platform teknologi (umumnya ojek online/ojol) dapat memiliki jamsos.
Yang penting lagi, data terus diverifikasi, divalidasi dan dipadukan. Mesti ada wali data urusan jamsos yang bisa memastikan akurasi dan keamanan data terus-menerus agar efektif dalam menyempurnakan pencapaian program.
Semoga saja, tekanan ekonomi kali ini, yang membuat dana perlindungan social membengkak besar, dapat menjadi momentum penyelenggaraan perlindungan social yang lebih baik, dengan tekanan pada perluasan jamsos dan pemberian bansos yang adil dan proporsional.
Baca juga: Juara Sepakbola Sea Games 2023, Timnas Pecahkan Separuh Rekor Timnas 1991
*Wartawan/Peneliti SigmaPhi Research