Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Indonesia tengah menapaki babak baru dalam perencanaan pembangunan. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas bersama Asian Productivity Organization (APO) sedang menyusun Master Plan Produktivitas Nasional (MPPN), sebuah dokumen strategis yang akan menjadi fondasi arah pembangunan menuju Indonesia Emas 2045. Ambisi ini besar, produktivitas nasional harus meningkat agar bangsa tidak sekadar menjadi pasar, melainkan mampu tampil sebagai pemain utama dalam percaturan ekonomi global.
Namun, di tengah gegap gempita jargon produktivitas, pertanyaan mendasar patut diajukan: produktif untuk siapa? Selama ini, diskursus produktivitas kerap berhenti pada sektor formal, industri manufaktur, ekonomi digital, atau investasi teknologi tinggi. Padahal, di balik statistik pertumbuhan ada wajah-wajah yang sering luput dari perencanaan: petani miskin dengan lahan sempit, lansia yang terpinggirkan dari aktivitas ekonomi, dan penyandang disabilitas yang sulit mengakses peluang kerja. Mereka bagian dari bangsa ini, namun acap kali absen dalam hitungan produktivitas nasional.
Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) berangkat dari kegelisahan itu. Kami menilai MPPN mesti mengintegrasikan dimensi inklusivitas, agar produktivitas nasional menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Karena itu, masukan yang kami ajukan menekankan perlunya skema pendanaan inovatif yang membuka ruang pemberdayaan kelompok rentan.
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah: hutan tropis, cadangan mineral, lahan marginal, hingga ekosistem karbon bernilai tinggi. Sayangnya, kekayaan ini lebih sering menjadi sumber konflik atau eksploitasi yang tidak berkelanjutan. DNIKS menawarkan gagasan finansialisasi alam, sebuah cara baru untuk mengelola sumber daya sebagai instrumen pasar yang menghasilkan dana berkelanjutan bagi program sosial produktif.
Bayangkan jika lahan marginal atau hutan adat disekuritisasi melalui obligasi hijau. Dana yang terkumpul dapat dipakai membiayai program agribisnis petani miskin: penyediaan benih unggul, akses modal, hingga modernisasi alat pertanian. Langkah itu bukan hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga mengangkat derajat hidup keluarga petani di desa. Pasar karbon global yang nilainya triliunan rupiah pun bisa diarahkan untuk tujuan serupa. Pendapatan dari proyek reboisasi, konservasi, atau energi bersih seharusnya menyisihkan porsi signifikan bagi pemberdayaan lansia dan penyandang disabilitas, mulai dari pelatihan keterampilan hingga penyediaan kursi roda kerja atau perangkat digital aksesibel.
Gagasan ini melahirkan imajinasi sebuah Sovereign Social Equity Fund, dana abadi berbasis SDA dan karbon kredit yang dialokasikan khusus untuk pembangunan sosial. Dana ini bisa membiayai infrastruktur dasar seperti air bersih, listrik, internet, rumah sakit, dan sekolah, sekaligus menggerakkan program pemberdayaan ekonomi komunitas. Dengan begitu, kekayaan alam tidak lagi sekadar sumber devisa, tetapi berubah menjadi instrumen keadilan sosial.
Di luar sumber daya alam, dunia usaha juga memiliki peran vital. Sayangnya, dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR/TJSL) yang jumlahnya mencapai Rp14 triliun pada 2023 masih banyak digunakan untuk proyek seremonial atau sekadar citra. DNIKS mendorong reformasi besar melalui pembentukan Lembaga Trust Fund CSR/TJSL Nasional di bawah koordinasi Bappenas. Dengan mekanisme ini, dana CSR dapat dikonsolidasikan untuk mendukung program strategis nasional, bukan lagi tercecer dalam proyek parsial.
Jika CSR diarahkan mendanai inkubator agribisnis, pusat pelatihan digital bagi penyandang disabilitas, atau koperasi lansia produktif, maka dampaknya tidak hanya filantropis, tetapi benar-benar transformasional. Hal serupa berlaku untuk filantropi. Donasi sesaat perlu bergeser menjadi dukungan jangka panjang bagi komunitas, misalnya pengembangan koperasi petani atau kelompok usaha bersama yang melibatkan lansia dan penyandang disabilitas. Dengan pendampingan organisasi masyarakat sipil, filantropi dapat melahirkan usaha berkelanjutan yang memperkuat kemandirian warga.
Ekonomi karbon juga memerlukan kerangka berdaulat. Selama ini Indonesia dipuji sebagai paru-paru dunia, namun masyarakat adat dan komunitas lokal yang menjaga hutan sering kali tidak merasakan manfaat ekonomi yang sebanding. MPPN perlu memastikan setidaknya separuh manfaat ekonomi karbon kembali ke komunitas lokal. Distribusi yang adil bukan hanya soal dana, melainkan pengakuan terhadap peran mereka sebagai penjaga ekosistem.
Tentu, gagasan sebesar ini tidak akan berjalan tanpa implementasi yang kuat. Perlu ada gugus tugas yang mampu mengorkestrasi berbagai aktor, mulai dari organisasi masyarakat sipil hingga filantropis dan pelaku usaha. Forum advokasi juga penting, agar ide-ide seperti sekuritisasi lahan marginal atau trust fund CSR mendapat dukungan politik dan finansial. Yang tak kalah penting, MPPN mesti dilengkapi mekanisme transparansi publik. Dashboard pemantauan terbuka dapat menampilkan indikator jelas: jumlah petani miskin yang berdaya, lansia yang tetap produktif, penyandang disabilitas yang masuk rantai UMKM.
Pada akhirnya, produktivitas nasional tidak boleh diukur semata dari grafik pertumbuhan atau jumlah investasi. Produktivitas sejati adalah ketika setiap warga, tanpa kecuali, mendapat kesempatan sama untuk berdaya. Indonesia Emas 2045 tidak boleh hanya menjadi proyek elit yang dinikmati segelintir kelompok. Ia harus menjadi visi kolektif yang menyertakan petani miskin di pelosok, lansia di kampung, dan penyandang disabilitas di sudut kota.
Melalui sekuritisasi sumber daya, ekonomi karbon berdaulat, reformasi CSR, dan filantropi komunitas, jalan menuju produktivitas inklusif terbuka lebar. Jalan ini memang tidak mudah, penuh perdebatan teknis dan tarik menarik kepentingan. Tetapi, tanpa keberanian membuka jalan baru, cita-cita produktivitas hanya akan menjadi retorika. Indonesia perlu berani melangkah: menjadikan kekayaan alam bukan sekadar komoditas, melainkan jembatan menuju keadilan sosial.
Baca juga: BIM di Persimpangan: Rente atau Reformasi?
*Wakil Ketua Umum DNIKS