Central Market
Lifestyle & Sport

Gelombang Rupiah di Negeri Jiran

Channel9.id-Kuala Lumpur. Di lorong sempit Central Market, Kuala Lumpur, suara perempuan Indonesia bersahut-sahutan di antara deret kios suvenir. Seorang ibu dari Bandung mengangkat satu tas bertuliskan Malaysia sambil berucap, “Dua puluh lima, ya? Di Tanah Abang juga bisa segitu, lho!” Penjaga toko yang ternyata berasal dari Indonesia di balik lapak menoleh malas. “Semua mau murah,” gumamnya pelan. Sementara itu, perempuan lain dari Tegal sibuk mengepak kain Malaysia dan tiga gantungan kunci Petronas ke dalam tas belanja yang terlihat sudah sesak dijejali barang belanjaan khas negeri jiran itu.

Akhir pekan terakhir Juli 2025, Kuala Lumpur tidak hanya menjadi panggung bagi pentas wayang golek santri Ki Haryo Enthus Susmono dan konser  Sheila on Seven. Ibukota Malaysia itu juga ramai dengan koper, kantong belanja, dan percakapan dalam bahasa Indonesia. Mereka bolak-balik ke money changer untuk menukarkan rupiah dan menggelombangkannya di toko-toko di Kuala Lumpur. Namun, tak hanya pelancong dari Indonesia, turis bule tampak berkelompok berbelanja di Central Market. Hanya saja, mereka lebih selektif dalam berbelanja. Tidak kalap seperti orang Indonesia.

Para pelancong dari berbagai kota—Medan, Makassar, Surabaya, juga Jakarta—menyesaki jalanan dari Bukit Bintang hingga Petaling Street. Mereka datang bukan karena ada pentas wayang dan konser musik. Bukan pula lantaran diskon besar. Mereka datang karena belanja telah menjadi ritual melupakan ekonomi yang sedang berat di tanah air.

Fenomena ini tercermin dalam statistik resmi. Menurut Kementerian Pariwisata, Seni dan Budaya Malaysia, hingga akhir Juni 2025, negara ini telah menerima 16,9 juta wisatawan internasional, naik 20 persen dibanding tahun lalu. Dari jumlah itu, Indonesia adalah penyumbang terbesar dengan 1,8 juta kunjungan, dan diperkirakan menembus angka 4,3 juta hingga akhir tahun (Tourism Malaysia, The Straits Times).

Menteri Pariwisata Malaysia, Dato’ Seri Tiong King Sing, secara terbuka menyebut Indonesia sebagai “pasar pariwisata paling menjanjikan” saat membuka Forum Wisata ASEAN 2025. “Mereka tidak hanya datang untuk jalan-jalan. Mereka belanja besar. Itu menciptakan efek pengganda bagi sektor retail dan F&B,” katanya.

Tapi tidak semua pelaku bisnis merasa bahagia. Di toko sepatu di dalam Suria KLCC, seorang pelayan perempuan etnis Tionghoa berusia 40-an tampak menahan jenuh. “Mereka ramai dan cerewet. Banyak tanya, bandingkan harga, tapi ya… akhirnya beli juga,” ujarnya singkat. Di Pavilion Mall, seorang pelayan lelaki Melayu muda dengan seragam hitam mengaku kewalahan. “Mereka datang bergerombol, panggil ‘mas’, ‘abang’, kadang nanya pakai bahasa Jawa. Saya tak paham.”

Meski keluhan terdengar di mana-mana, para pelaku retail tak bisa mengingkari bahwa omzet mereka lumayan naik drastis. “Minggu ini, penjualan kami meningkat,” ujar seorang pemilik toko souvenir di Central Market.

Fenomena ini disebut sebagai “belanja pelampiasan lintas batas” oleh I Gde Pitana, guru besar pariwisata dari Universitas Udayana dan mantan Deputi Pengembangan Pemasaran Mancanegara Kemenparekraf RI. “Ketika tekanan ekonomi di dalam negeri meningkat, masyarakat kelas menengah mencari bentuk kompensasi psikologis. Salah satunya melalui pengalaman belanja di luar negeri yang memberi ilusi nilai tukar lebih baik,” jelasnya dalam wawancara dengan Kompas pada 26 Juli 2025.

Belanja menjadi bentuk pelarian. Barang yang diburu pun tidak mewah: kaus, sepatu kasual, jam tangan fesyen, kosmetik Korea, tas kerja, oleh-oleh, bahkan kebutuhan rumah tangga seperti blender atau set pisau. Di Central Market, seorang pria dari Palembang mengaku memborong dua koper penuh teh tarik, sabun mandi lokal, dan bumbu instan. “Lebih murah dan rasa lebih pas. Teman-teman kantor nitip semua,” katanya.

Amran Hamzah, Associate Professor di Universiti Teknologi Malaysia, menyatakan bahwa kota seperti Kuala Lumpur telah berkembang menjadi “urban shopping hub” yang spesifik menyasar pasar ASEAN. “Orang Indonesia merasa akrab di sini. Mereka tidak merasa asing karena bahasa serumpun, makanan tidak berbeda jauh, dan harga lebih masuk akal dibanding Singapura,” ujar Amran dalam konferensi APEC Tourism Working Group, Juli lalu.

Namun keramahan pelayanan masih menjadi titik lemah. Banyak turis Indonesia mengeluhkan sikap pelayan toko yang dianggap dingin atau tidak peduli. Seorang pengunjung asal Jakarta menyebut, “Pelayan di Tanah Abang jauh lebih hangat. Di sini seperti tidak butuh pelanggan.” Ungkapan serupa terdengar dari banyak turis Indonesia.

Meski begitu, tidak semua warga Kuala Lumpur berpandangan negatif. Darsil, tokoh diaspora Indonesia di Kuala Lumpur, memberikan pandangan seimbang. “Wisatawan Indonesia sopan, bisa dibilang murah senyum. Kalau kadang ramai dan cerewet, itu gaya kita. Tapi dampaknya sangat besar bagi ekonomi Malaysia. Belanja mereka nyata.”

Di jalan-jalan sekitar Jalan Alor, pedagang makanan kaki lima seperti Rajiv, lelaki India 50-an, mengakui berkah ekonomi ini. Meski mengeluh karena pelanggan dari Indonesia “suka nawar kelewat batas”, ia tak menyangkal bahwa pendapatannya meningkat selama Juli ini.

Namun di balik laju uang yang berputar, ada ironi yang terungkap. Sebuah riset rantai pasok dari Federation of Malaysian Manufacturers (FMM) menyebut bahwa lebih dari 70 persen produk retail non-makanan di pusat belanja KL adalah buatan Tiongkok. Kaus, tas, jam tangan, aksesoris, bahkan sebagian kosmetik murah. Banyak label bertuliskan “Made in China” ditemukan di balik produk-produk yang dibeli turis Indonesia dengan semangat membuncah.

Chia-Lin Chen dari University College London, yang meneliti logistik konsumsi Asia, menyebut fenomena ini sebagai “transit capital circulation”. “Konsumen merasa memberi manfaat ekonomi kepada negara tujuan wisata, tapi nilai tambah akhirnya tetap mengalir ke negara produsen, dalam hal ini Tiongkok,” ujarnya dalam publikasi Asian Urbanism Review, edisi Juni 2025.

Turis Indonesia membanjiri Kuala Lumpur, menghidupkan sektor pariwisata dan perdagangan. Mereka datang dengan senyum, koper besar, dan semangat membeli. Tapi sebagian besar barang yang dibawa pulang bukan buatan Malaysia. Bukan juga hasil tangan Asia Tenggara. Di balik setiap tas, sandal, dan jam tangan yang dibungkus plastik itu, tertera satu kalimat kecil yang nyaris tak terbaca: Made in China.

Baca juga: Sepetak Melayu di Megapolitan Kuala Lumpur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  9  =  17