Channel9.id – Jakarta. Bergabungnya Partai Golkar dan PAN ke koalisi Gerindra-PKB, banyak dianggap sebagai keberhasilan Jokowi dalam mencetak peran baru sebagai sentrum kontestasi Pilpres 2024, sekalipun melampaui standar etik politik kepartaian dan kenegaraan. Namun, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, justru menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat dengan mudah mendisiplinkan beberapa ketua umum partai politik sesuai kehendaknya. Menurut Hendardi, Jokowi dapat mendisiplinkan sejumlah elit dengan segenap kuasa yang dimilikinya dan kasus-kasus yang menjerat mereka.
“Meskipun selalu dibantah, dengan segenap kuasa yang digenggam dan jebakan kasus-kasus hukum yang melilit sejumlah elit, Jokowi dengan mudah mendisiplinkan beberapa ketua umum partai politik untuk sebaris dengan kehendaknya,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis yang diterima Channel9, Rabu (16/8/2023).
Lebih lanjut, Hendardi menilai indikasi keberhasilan kerja politik Jokowi untuk menggemukkan koalisi yang mengusung Prabowo Subianto juga sejalan dengan operasi politik lain dengan menggunakan tangan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menduga, uji norma dalam UU Pemilu terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), berkaitan dengan upaya putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang kian menguat di bursa cawapres.
“Sekalipun belum tentu ditujukan untuk kepentingan Gibran Rakabuming Raka, sulit bagi publik untuk tidak mengaitkan uji materi ini dengan upaya sistematis memuluskan jalan bagi anak presiden, yang belum genap lima tahun belajar memimpin sebuah kota kecil di Jawa Tengah,” tutur Hendardi.
Ia menyinggung hasil survei yang mengunggulkan Gibran sebagai cawapres paling populer untuk mendampingi Prabowo. Hasil survei ini, kata Hendardi, dirilis dan diamplifikasi untuk memperkuat kelayakan elektoral putera Jokowi.
“Bahkan popularitas Gibran di angka 66,5 persen dengan tingkat kesukaan 82,6 persen melampaui Erick Thohir, Muhaimin Iskandar dan Airlangga Hartanto, meskipun tiga sosok terakhir ini memiliki mesin politik dan sebaran kader seluruh Indonesia,” jelas Hendardi.
Menurut Hendardi, survei yang mempromosikan kandidat tanpa memiliki syarat usia berdasarkan undang-undang, tidak kondusif bagi upaya pematuhan rule of the game Pilpres yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Ia pun menegaskan, promosi yang dilakukan lembaga survei tersebut merupakan bagian agitasi yang dapat mempengaruhi keputusan MK.
“Promosi kelayakan Gibran (35 tahun) untuk jadi Cawapres yang tidak proper secara hukum, adalah bagian agitasi yang bisa saja mempengaruhi Mahkamah Konstitusi, yang saat ini dipaksa menjadi penentu dapat atau tidaknya Gibran ikut berlaga,” terangnya.
Atas dasar hal tersebut, Hendardi mendorong MK agar menunda pemeriksaan perkara terkait batas usia hingga Pilpres usai. Terlebih lagi, lanjutnya, seluruh preseden, argumen, dan yurisprudensi yang dicetak sendiri oleh MK menyatakan tegas bahwa terkait batasan usia dalam pengisian jabatan publik adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
“MK harus menjadi antitesa kecenderungan autocratic legalism yang sudah merasuk dan merusak prinsip-prinsip dasar bernegara dari rezim yang berkuasa. Autocratic legalism adalah suatu praktik penyelenggaraan negara yang memusatkan perhatiannya pada formalisme hukum dan seolah-olah benar menurut hukum, padahal yang dilakukannya adalah memupuk kekuasaan dan melanggar prinsip dasar berhukum dan bernegara,” pungkasnya.
Baca juga: SETARA Minta MK Tidak Terbawa Irama Politik Jelang Pemilu
Baca juga: Cak Imin Sambut Bergabungnya PAN dan Golkar, Ungkap 2 Hal yang Dimiliki Prabowo
HT