Politik

Gibran Tak Perlu Dihela!

Oleh: Indra Jaya Piliang*

Channel9.id-Jakarta. Kau boleh memberi mereka cintamu /

tetapi bukan pikiranmu.

Sebab / mereka memiliki pikiran sendiri.

Kau bisa memelihara tubuh mereka /

tetapi bukan jiwa mereka.

Sebab / jiwa mereka tinggal di rumah masa depan /

yang takkan bisa kau datangi /

bahkan dalam mimpimu.

( ‘Anak’, Puisi Kahlil Gibran}

Dari sekian banyak arahan, tawaran, hingga permintaan untuk bergabung dalam organisasi relawan pemenangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, saya memilih Relawan Pro UI. Selain para deklarator dan anggota Relawan Pro UI ini berasal dari alumni Universitas Indonesia (UI), saya tak terbebani dengan nama Gibran. Pro UI, bukan Pro Run UI, bukan pula Pro Booming UI. Selain deklarasi Relawan Pro UI dilakukan sebelum pengumuman kesepakatan Calon Wakil Presiden Koalisi Indonesia Maju, terasa sekali makna puisi ‘Anak’ dari Kahlil Gibran di atas.

Kahlil Gibran adalah penyair besar yang beragama Katolik Maronit asal Libanon. Puisi ‘Anak’ banyak sekali dikutip, tapi belum muncul dalam papan-papan reklame Prabowo – Gibran. Tulisan-tulisan pedih Kahlil Gibran ikut mewarnai kancah kepenyairan di Indonesia. Kematian bangsa Libanon dicatat dengan lirih oleh Kahlil Gibran. Baris demi baris. Lembar demi lembar. Bangsa yang mati akibat konflik, seperti kertas yang disobek.

Bagi saya, usia 36 tahun yang sudah dihabiskan Gibran, bukan lagi kategori anak kemaren sore.

‘Yang menyebut Gibran anak kecil itu yang sebetulnya sudah tua,’ ucap Bang Nirwan Bakrie kepada saya. Nirwan suatu waktu juga pernah bicara, betapa para pemilik klub-klub sepakbola yang bermain di Liga I terdiri dari anak-anak berusia 30-an tahun. Sosok yang sering disebut Boss Persija Jakarta ini, tentu tak sedang menunjukan kegusaran, tetapi optimisme yang bergairah.

Tentu, saya ikut memberikan argumentasi. Di usia Gibran, saya malah sudah mengundurkan diri dari kiprah profesional di banyak instansi. Saya bergabung ke dalam Partai Golkar di usia 36 tahun. Usia yang tak muda sama sekali. Dan tak takut menghadapi turbulensi kehidupan apapun. Lima belas tahun sebagai kader Partai Golkar, hampir seluruh jenjang kepemimpinan dalam organisasi sudah saya jalani. Bang Nirwan tentu pahami itu, berhubung saya memang menjadikan beliau sebagai satu-satunya Danna dalam politik.

‘Bang, setiap Geisha memiliki Danna alias pelindung. Sehingga, mana ada Geisha diberlakukan secara tidak hormat. Saya kini sedang menjadi seorang Geisha di bidang politik, yakni hendak bergabung dengan Partai Golkar. Dunia yang sangat penuh dengan intrik, bergelimang gincu tebal dan topeng. Maukah Abang menjadi Danna saya?’ lewat kiriman pesan pendek waktu itu.

‘Berat sekali tugas gue. Tapi karena lu adalah boss gue, gue tak bisa menolak. Bismillah,’ begitu jawaban Bang Nirwan. Tak heran, apapun soal-soal penting yang saya lakukan di politik, saya hanya melapor kepada Bang Nirwan.

Gibran, apakah perlu memiliki seorang Danna juga?

Tak perlu. Gibran tak perlu dibela, apalagi dihela. Untuk apa dibela, berhubung Gibran bukan seorang pesakitan. Apalagi dihela, seperti keledai yang dikalungi tali, bahkan bisa jadi ditusukan ke lubang hidung, sebab Gibran sudah memimpin, baik dalam kiprah profesional, sosial, hingga politik dan pemerintahan.

Ketika kalimat, ‘Tenang, Pak Prabowo, saya sudah di sini,’ keluar di Gedung Olah Raga Indonesia Arena, saya melihat betapa Gibran sudah memecahkan blokade mental antara dirinya dengan ekosistem politik yang bergemuruh. Begitu juga kala Gibran — dan Kaesang Pangarep — bersimpuh bersalaman dengan Ibu Megawati Soekarnoputri di kantor Komisi Pemilihan Umum, saya melihat betapa Gibran tak memasung diri di dalam baju zirrah yang menghilangkan diri dan kepribadiannya. Filosofi persilatan Minangkabau terlihat hidup dalam diri Gibran: Tagang Bajelo-Jelo, Kandua Badantiang-dantiang.

Jadi, biarlah Pro UI yang hingga kini terdiri dari lebih duaratus alumni Universitas Indonesia — yang 90 % tidak saya kenali, lebih banyak mengusung, mengawal dan memenangkan Prabowo, lalu melepaskan ikatan dengan Gibran, pun seluruh totalitas dirinya.  Suatu proses pembebasan dan pemerdekaan Pro UI atas Gibran. Nuansa Sang Gerilyawan sedang berjalan. Sikap Merdeka 100% yang diperjuangkan Tan Malaka, terasa sekali meringankan langkah saya, khususnya, dan Pro UI, umumnya, dalam menyusun program aksi hingga – maksimal – satu dekade ke depan. Bukan Gibran yang sedang mengalami masa-masa perpeloncoan politik, tetapi generasi kami, Generasi X. Sebagai ‘balasan’, kami yang memelonco Prabowo Subianto dengan seluruh visi, misi, dan program strategisnya.

Dan, selesai sudah tugas kesejarahan saya, walau lewat waktu, guna mempersembahkan tulisan Hari Kelahiran Kun Nurachadijat, 5 Desember 1971, Ketua Umum Pro UI. Kun adalah partner in crime saya dalam banyak organisasi. Dua yang teratas, Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi se-Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Islam. Kun ternyata lebih senior dari saya, empat bulan lebih.

Selamat Ulang Tahun, Ketua!!!

Baca juga: Reklamasi Kemerdekaan

*Anggota Dewan Penasehat Relawan Prabowo untuk Indonesia (Pro UI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  18  =  24