Hot Topic

Guru Besar UPI Jelaskan Revisi Mapel Sejarah Untuk Perkuat Pikiran Historis Siswa

Channel9.id – Jakarta. Guru Besar Pendidikan Sejarah UPI, Prof. Dr. Nana Supriatna, M.Ed, menyarankan merevisi mata pelajaran (mapel) sejarah supaya lebih menarik dan bisa memperkuat pikiran historis siswa dalam menghadapi tantangan zaman.

“Revisi harus dilakukan supaya mata pelajaran sejarah menjadi menarik dan disukai siswa. Ketidaktertarikkan siswa terhadap pelajaran sejarah berujung kepada ketidakcapaian kompetensi lulusan dan ketidakcapaian penanaman identitas bangsa,” kata Nana dalam Webinar ‘Sejarah Pendidikan Sejarah Indonesia Dalam Tinjauan Didaktik dan Berpikir Historis’ yang digelar FDP IKA UNJ, Rabu (30/9).

Nana menjelaskan, revisi mapel Sejarah harus fundamental. Adapun revisi tersebut harus dilakukan mulai dari filosofis, desain kurikulum, konten pelajaran, implementasi pelajaran, dan evaluasi.

Pada poin filosofi, pelajaran sejarah harus memperkuat filsafat Rekontruksi Sosial terutama dalam aspek kognitif siswa. Menurut Nana, selama ini mata pelajaran sejarah dalam kurikulum mengutamakan filsafat Perenialisme dan Esensialisme dengan niat mewariskan nilai-nilai masa lalu.

“Kedua hal itu mengemas mapel sejarah dengan Glorifying the Fast atau membesarkan masa lalu. Padahal mempelajari sejarah tujuannya supaya anak bisa menghadapi masa kini,” kata Nana.

Bagi Nana, membesarkan masa lalu hanya membuat sejarah menjadi romantisme masa lalu saja. Karena itu, Nana menyarankan untuk memperkuat filsafat Rekontruksi Sosial dalam mapel sejarah. Filsafat itu mampu menguatkan pemikiran kritis siswa karena mampu menghubungkan pengalaman masa lalu dan masa kini.

“Jadi perlu diperkuat supaya bangsa bisa berpikir kritis, cerdas, dan ranah kognitifnya kuat,” ujarnya.

Kedua, merevisi desain kurikulum. Nana menjelaskan, berbicara desain kurikulum juga berbicara mengenai tujuan. Dalam hal ini, tujuan itu perlu diperbaiki untuk menguatkan intelektual siswa.

“Selama ini kan tujuan sejarah untuk diingat dan dihafal. Tapi lupa untuk memperkuat pemikiran siswa. Nah desain kurikulum harus diperkuat supaya anak bisa berpikir tingkat rendah dan tingkat tinggi,” kata Nana.

Menurut Nana, dengan memperkuat cara berpikir akan membuat siswa dapat berimajinasi. Imajinasi ini nantinya akan membuahkan kreatifitas dan menghasilkan sebuah karya.

“Kreatif ini yang dibutuhkan untuk menghadapi abad-21. Jadi, dalam pelajaran sejarah biarkan anak mengaji fakta, melakukan interpretasi dan kritik sumber. Ini modal baik untuk melatij anak berpikir kreatif,” kata Nana.

Poin selanjutnya adalah konten kurikulum. Dalam hal ini, guru harus memperkaya konten dan membuatnya menarik supaya anak tidak bosan. Contohnya membahas sejarah problematik untuk menimbulkan pikiran kritis.

“Misal selama ini kan anak diajarkan untuk menghafal nama raja, pergantian raja, selir raja. Ini kan membosankan. Sejarah nasioanal terlalu terpaku pada politik dan great figur,” katanya.

“Guru bisa membahas Sejarah problematik, sejarah maritim, sejarah pertanian, sejarah kuliner. Itu kan menarik sekaligus membangun sejarah yang lebih kompleks,” lanjutnya.

Kemudian, revisi implementasi. Dalam hal ini, pemerintah perlu memberikan kesempatan kepada guru-guru di daerah untuk menggali lebih dalam sejarah daerahnya. Pun tak menghilangkan pengajaran sejarah nasional yang harus diberikan. Bahkan, keduanya bisa saling terhubung.

“Misal berbicara soal Kartini. Ini kan wajib diajarkan dalam sejarah nasional. Nah guru-guru daerah bisa menghubungkan Kartini, misalnya dengan kesetaraan gender, masalah patriarki di daerah itu. Jadi Kartini cukup diingat saja, siswa bisa menghubungkan hal itu dengan pengalaman sehari-hari,” ujarnya.

Baca juga : Guru Besar UPI: Hadapi Tantangan Zaman,  Mapel Sejarah Perlu Direvisi

Terakhir, revisi dalam evaluasi. Nana menyampaikan, selama ini evaluasi mapel sejarah dilihat dari hasil tes siswa. Hal ini membuat guru mengajar supaya siswa bisa ikut tes dengan baik. Poses pengajaran yang dilakukan guru pun menekankan siswa untuk menghafal saja.

“Ini membuat guru mekanis dan mengajarkan sesuatu yang tidak menarik. Evaluasi harus diubah, misalnya siswa bikin produk atau membuat tes yang terbuka. Maksudnya tidak ada kata kuncinya. Biarkan anak berpikir imajinasi, seperti pertanyaan Apa yang akan anda lakukan bila menjadi Soekarno pada saat itu?,” ujarnya.

“Untuk melakukan revisi itu, perlu ada kebijakan politik dari pemerintah supaya Indonesia menjadi bangsa yang tidak amnesia sejarah,” pungkasnya.

(HY)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2  +  4  =