Channel9.id, Jakarta – Kenaikan harga minyak global akibat memanasnya konflik antara Iran dan Israel menimbulkan kekhawatiran akan naiknya harga BBM bersubsidi seperti Pertalite di Indonesia. Situasi ini menciptakan dilema bagi pemerintah, yang harus menyeimbangkan antara menjaga daya beli masyarakat dan mengendalikan beban fiskal.
Mengutip Reuters, Rabu (18/6/2025), harga minyak mentah Brent untuk pengiriman Agustus naik 4,4% menjadi US$76,45 per barel, sedangkan WTI meningkat 4,28% menjadi US$74,84 per barel.
Fahmy Radhi, pengamat ekonomi energi dari UGM, menjelaskan bahwa sebagai negara pengimpor minyak, Indonesia sangat rentan terhadap gejolak harga minyak dunia. Ia memperkirakan jika konflik terus memburuk hingga menyebabkan penutupan Selat Hormuz, harga minyak bisa melambung hingga US$130 per barel.
“Jika harga minyak dunia melonjak di atas US$100 per barel, pemerintah tak punya pilihan selain menyesuaikan harga BBM subsidi untuk menghindari tekanan berat pada APBN,” ujar Fahmy. Ia menambahkan, jika harga BBM subsidi naik, inflasi bisa meningkat dan menurunkan daya beli masyarakat.
Hingga akhir Mei 2025, Kementerian Keuangan mencatat realisasi belanja subsidi energi dan non-energi sebesar Rp66,1 triliun—turun 15,1% dibanding tahun lalu, dipengaruhi oleh turunnya harga minyak mentah Indonesia (ICP). Namun, volume subsidi justru meningkat, dengan konsumsi BBM bersubsidi naik 4,3%, LPG 3 kg naik 3,5%, dan pelanggan listrik bersubsidi bertambah 4,2%.
Mitigasi Pertamina dan Strategi EBT
Di tengah kondisi ini, PT Pertamina (Persero) memastikan pasokan dan impor minyak masih aman. “Hingga saat ini, belum ada gangguan distribusi. Namun kami tetap siaga dan siap mengalihkan jalur pelayaran bila diperlukan,” kata VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso.
Pertamina juga menyatakan sistem impor minyak saat ini lebih fleksibel karena tidak sepenuhnya bergantung pada kontrak jangka panjang.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mempercepat pengembangan energi baru terbarukan (EBT) sebagai langkah antisipatif. Juru Bicara ESDM, Dwi Anggia, mengatakan eskalasi geopolitik menjadi pengingat pentingnya diversifikasi energi.
“Harga minyak global mulai naik dan bisa berdampak pada ICP, meskipun saat ini masih di bawah asumsi APBN 2025 sebesar US$82 per barel,” katanya.
Menurut Dwi, peristiwa ini menjadi momentum memperkuat bauran energi nasional dengan memperluas pemanfaatan biofuel dan energi terbarukan lainnya yang potensinya besar di Indonesia.