Penjelasan Amran soal harga beras
Ekbis

Harga Beras Melandai, Struktur Pasar Mulai Stabil Meski Distribusi Masih Jadi Tantangan

Channel9.id, Jakarta. Tren deflasi beras pada akhir semester II 2025 menghadirkan dinamika baru dalam pasar pangan nasional. Untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun terakhir, harga beras turun beruntun justru pada periode yang biasanya diwarnai lonjakan harga akibat musim paceklik. Pemerintah menilai tren ini sebagai indikasi bahwa sistem produksi dan distribusi mulai bekerja lebih efisien.

Menteri Pertanian sekaligus Kepala Badan Pangan Nasional, Andi Amran Sulaiman, menyebut penurunan harga tersebut sebagai sinyal positif perbaikan tata kelola pangan.

“Alhamdulillah, beras menjadi penyumbang deflasi terbesar. Selama 2–3 bulan terakhir terjadi deflasi, dan ini belum pernah terjadi dalam tujuh tahun terakhir pada bulan Oktober hingga Desember. Namun harga tetap stabil,” ujarnya di Jakarta, Kamis (11/12/25).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa harga beras di tingkat konsumen mengalami deflasi sejak September hingga November, masing-masing sebesar 0,13 persen, 0,27 persen, dan 0,59 persen. Pada minggu pertama Desember 2025, harga beras medium turun 0,06 persen dan beras premium turun 0,15 persen dibanding bulan sebelumnya.

Meski demikian, penurunan tersebut tidak menekan harga di tingkat petani. Indeks harga yang diterima petani terus meningkat dari 136,78 pada Januari menjadi 144,59 pada November 2025. Bahkan pada September, nilainya mencapai 146,28—tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Kenaikan ini sejalan dengan estimasi produksi nasional yang diperkirakan mencapai 34,79 juta ton tahun ini.

Indikator kesejahteraan petani juga menguat. NTP (Nilai Tukar Petani) pada April mencapai 121,06, tertinggi dalam tujuh tahun terakhir, sementara NTP Tanaman Pangan berada pada posisi stabil di 106,51.

Produksi Meningkat, Namun Distribusi Tetap Titik Lemah

Peningkatan pasokan terjadi di berbagai daerah, termasuk Papua Selatan yang mencatat lonjakan luas panen hingga 80.124 hektare, atau naik hampir 70 persen dibanding 2024.

Namun, meningkatnya produksi belum otomatis menyelesaikan persoalan lama: akses distribusi. Amran menegaskan bahwa kondisi geografis Papua membuat biaya logistik sangat tinggi.

“Di Papua, medannya berat. Ada wilayah yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat, ada pula yang harus ditempuh berhari-hari dengan truk. Kadang truk bisa tenggelam di jalan,” katanya.

Pemerintah menargetkan solusi jangka panjang melalui peningkatan produksi lokal. Kebutuhan beras Papua diperkirakan 660 ribu ton per tahun, sementara produksi saat ini baru 120 ribu ton. Masih ada defisit 500 ribu ton yang memerlukan tambahan sekitar 100 ribu hektare lahan tanam. Pemerintah optimistis target tersebut dapat dicapai pada 2026–2027.

Selain beras, diversifikasi pangan—khususnya umbi-umbian—menjadi fokus intervensi di Papua. Menurut Amran, permintaan masyarakat Papua terhadap komoditas tersebut cukup tinggi dan dapat mendukung kemandirian pangan daerah.

“Solusi permanen bukan hanya beras, tetapi juga peningkatan produksi umbi-umbian yang dibutuhkan saudara-saudara kita di Papua,” jelasnya.

Beberapa wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi telah mencapai status mandiri pangan. Papua diproyeksikan menyusul dalam dua tahun ke depan apabila percepatan produksi lokal dan perbaikan distribusi berjalan sesuai rencana.

Deflasi beras kali ini bukan sekadar penurunan harga musiman, tetapi mencerminkan perubahan struktur pasokan pangan nasional—di mana peningkatan produksi mulai menyeimbangkan harga tanpa menekan pendapatan petani. Tantangan berikutnya adalah memastikan keberhasilan ini merata di seluruh wilayah, terutama di daerah dengan hambatan geografis ekstrem seperti Papua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

27  +    =  34