Channel9.id-Jakarta. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menekankan harga gas untuk industri harus kompetitif sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi sebesar US$ 6 per MMBTU. “Penurunan harga gas industri, akan menopang daya saing dan produktivitas di sektor industri nasional menjadi semakin baik,” ujarnya, Sabtu, 29 Februari 2020.
Agus optimistis harga gas industri bisa ditekan hingga US$ 6 per MMBTU maka target pertumbuhan industri manufaktur sebesar 5,3 persen pada 2020 akan tercapai. “Sejumlah besar industri manufaktur dalam negeri membutuhkan gas, baik sebagai energi maupun bahan baku. Karena itu, harga gas industri di Tanah Air harus ditekan agar menurunkan biaya produksi yang mendukung peningkatan daya saing,” kata dia.
Beberapa hal yang menjadi latar belakang pemerintah untuk mendorong penurunan harga gas industri antara lain biaya produksi, harga jual produk, serta permintaan pasar. Bagi industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku seperti tekstil hulu, petrokimia hulu, pupuk, keramik, dan kaca, harga gas merupakan bagian dari struktur biaya yang cukup besar.
“Misalnya, di industri hulu tekstil yang harga gas 25 persen dari cost structure, harga gas yang sekitar US$ 9-12 menyebabkan daya saing menjadi lemah,” ungkap Agus.
Bagi sektor industri hulu, akibat tingginya harga gas industri, utilisasi produksi cenderung rendah di kisaran 45 persen, sehingga sebagian besar industri tekstil dan produk tekstil (TPT) hulu menurunkan kapasitas produksinya. Begitu juga dengan industri petrokimia. Harga gas mempengaruhi 70 persen struktur biaya.
Selain itu, belum adanya pasokan bahan baku etilen, propilen, polietilen, polipropilen, DME dan industri turunannya dari dalam negeri berpengaruh pada lambatnya pertumbuhan hilir metanol. Dari aspek perdagangan, hal tersebut menyebabkan tingginya impor bahan baku metanol dari luar negeri.
Ini juga bisa menyebabkan hilangnya potensi penyerapan tenaga kerja dari tumbuhnya industri-industri di hilir, antara lain plastik, kabel, serta komponen elektronika dan otomotif.
Di sektor industri keramik dan kaca, harga gas bumi di Indonesia yang lebih mahal berakibat pada rendahnya daya saing dan meningkatkan impor keramik dan kaca. Harga gas industri untuk sektor tersebut berkisar US$ 7,98-10,28 per MMBTU.
Peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia TM Zakir Machmud menyatakan penurunan harga gas industri dalam jangka pendek dinilai dapat mengurangi penerimaan negara. Namun, dalam jangka panjang, diyakini akan memberi manfaat lebih besar bagi negara seperti dari tambahan pajak seiring pertumbuhan sektor industri.
“Harga input yang tidak kompetitif adalah isu utama di industri manufaktur. Salah satu input itu adalah energi, termasuk gas industri,” ujarnya.
Menurut Zakir, harga energi yang tidak kompetitif akan membuat harga hasil produksi industri menjadi tidak dapat bersaing. Upaya menurunkan harga gas industri dilakukan agar produk yang dihasilkan industri manufaktur dalam negeri bisa kompetitif termasuk saat harus bersaing dengan produk impor.
“Permintaan sisi industri seperti ini, kalau mau mendorong industri, jangan ditarik di depan, tetapi tariklah di belakang. Kalau harga input murah, industri bergerak. Dari situ lah akan didapat tambahan perolehan pajak,” paparnya.