Channel9.id – Jakarta. Permohonan terbaru uji materil terkait ketentuan batas usia capres/cawapres kembali diajukan ke MK oleh warga Solo pada Selasa (12/9/2023) lalu. Menurut Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi, permohonan ini sangat politis karena pemohon meminta tafsir dan makna konstitusional untuk dimaknai bahwa syarat usia 40 tahun atau pernah menjabat sebagai gubernur/bupati/walikota.
Hendardi menilai, dengan permohonan ini, pemohon kembali mengambil langkah antisipatif jika Mahkamah Konstitusi (MK) terlanjur memutus menolak permohonan serupa pada tiga perkara yang hampir putus.
Sebelumnya, MK telah memberikan privilege pada perkara pengujian Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang menetapkan batas usia capres dan cawapres paling rendah 40 tahun. Dengan sidang maraton, MK telah menyelesaikan tahap pemeriksaan dan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) atas perkara 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023 dan 55/PUU-XXI/2023.
“Untuk kepastian hukum, MK didorong segera menggelar sidang pleno pembacaan putusan, mengingat tahapan Pilpres akan memasuki masa pendaftaran pada 19-25 Oktober 2023. Menunda pembacaan putusan padahal sudah diputus, sama saja menunda keadilan,” ujar Hendardi dalam keterangan tertulis, Selasa (26/9/2023).
“Menunda keadilan berarti menolak keadilan sebagaimana doktrin justice delayed justice denied. Artinya, putusan MK tidak akan berarti bagi penegakan kehidupan berkonstitusi,” lanjutnya.
Ia menilai, pembacaan putusan penting untuk disegerakan. Sebab, lanjut Hendardi, hal ini ditujukan untuk memberi pembelajaran bagi warga dan elit yang nafsu berkuasa dengan terus mengorkestrasi argumen keadilan, bahwa seolah-olah pembatasan usia capres/cawapres adalah diskriminatif sehingga harus ditafsir lain.
“Padahal sejak lama ihwal pengaturan usia pejabat publik dikategorikan bukan sebagai isu konstitusional oleh MK, sebagaimana dalam putusan putusan No. 37/PUU-VIII/2010 terkait usia pimpinan KPK, putusan 49/PUU-IX/2011 terkait syarat usia calon hakim konstitusi, No. 15/PUU-XV/2017 terkait usia calon kepala daerah, dan putusan No. 58/PUU-XVII/2019 dan putusan No. 112/PUU-XX/2022 terkait syarat usia pimpinan KPK yang tetap dinyatakan sebagai bukan isu konstitusional,” tuturnya.
Dari perspektif HAM dan hak konstitusional warga, Hendardi mengatakan MK sejak berdiri telah mempertegas batasan tafsir diskriminasi yang seringkali dijadikan argumen dan dalil pengujian konstitusionalitas norma. Namun, lanjutnya, banyak yang salah kaprah terkait penggunaan dalil diskriminasi yang sebenarnya adalah bentuk perlakuan berbeda dalam kondisi yang berbeda.
Berdasarkan hasil riset SETARA terkait 10 Tahun Kinerja Mahkamah Konstitusi pada 2013, Hendardi mengatakan MK telah berkontribusi memberikan batasan pemaknaan terhadap konsep diskriminasi dan non diskriminasi. MK menegaskan bahwa perlakuan berbeda dengan diskriminasi adalah berbeda.
“Perlakuan berbeda dalam mengisi posisi jabatan-jabatan tertentu misalnya, dapat dibenarkan dengan menakar relevansi fungsi kelembagaan tersebut,” jelasnnya.
Hendardi menilai, MK harus tahan ujian di tahun politik meskipun sebagian orang telah meragukannya. Sebab, menurutnya, MK adalah satu-satunya harapan penjaga kualitas demokrasi dalam Pemilu, saat para penyelenggaran Pemilu dan pemerintah menunjukkan gejala tidak netral dalam kontestasi.
“MK juga yang bisa menghentikan konsolidasi politik dinasti yang dikendalikan oligarki, yang terlanjur memerankan sebagai pengendali republik melalui prakti vetocracy di hampir semua kebijakan negara,” tegasnya.
Baca juga: Setara: Sebaiknya MK Tunda Uji Materi UU Pemilu
HT