Channel9.id-Jakarta. Wakil Ketua MPR yang juga Anggota Komisi VIII DPR RI, Hidayat Nur Wahid menilai ada ketidaklaziman aspek formalitas pembentukan undang-undang dalam persetujuan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) oleh pemerintah dan mayoritas fraksi di Badan Legislasi DPR. Hidayat juga menilai substansi dan intisari RUU bermasalah, sehingga masih terus mendapat kritikan dan penolakan publik.
Selain itu, Hidayat juga menyoroti saat pengambilan keputusan tingkat I di Badan Legislasi (Baleg) dan tingkat II di Rapat Paripurna, draft utuh dan final RUU tersebut belum dibagikan ke semua fraksi. Tetapi aneh, semua fraksi di DPR sudah diminta untuk menyampaikan pendapatnya.
Baca juga: Mendagri: UU Ciptaker Akan Mempermudah Masyarakat Membuka Usaha
“Meski, pada saat pengambilan keputusan di Baleg, ada dua fraksi, yaitu F PKS dan Fraksi Partai Demokrat (FPD) menolak untuk meneruskan rapat paripurna, tetap saja RUU itu diteruskan untuk dibawa ke forum pengambilan keputusan tingkat II yaitu Rapat Paripurna DPR RI,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (07/10).
Karena tidak terpenuhinya asas transparansi dan kepatuhan pada aspek legal, ia menilai wajar sikap FPKS dan FPD, yang menolak melanjutkan pembahasan RUU tersebut ke Rapat Paripurna.
“Seharusnya setiap fraksi yang merupakan elemen penting di dalam DPR diberikan akses seluas-luasnya dalam pembahasan suatu RUU, termasuk menerima draft utuh RUU yang akan dibahas atau akan diputuskan, sebelum diminta menyiapkan dan menyampaikan pendapat mini maupun pendapat akhir,” tuturnya.
Leibh lanjut Hidayat menuturkan, sesuai kebiasaan ketatanegaraan atau konvensi dalam penyusunan rancangan undang-undang, setiap fraksi dikirimi draft naskah RUU secara utuh yang sudah disepakati dan selesai dibahas.
“Selain hukum yang tertulis, kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan ini juga seharusnya menjadi pedoman dalam pembahasan/pengambilan keputusan terhadap Omnibus RUU Ciptaker. RUU ini memiliki dampak kepada lebih dari 78 undang-undang yang berlaku saat ini,” imbuhnya.
Hidayat melanjutkan, dari segi substansi terdapat banyak intisari dalam RUU itu yang bermasalah, terutama terkait isu investasi asing yang seakan menjadi fokus utama RUU ini.
“Masalah investasi di Indonesia sebenarnya bukan soal perubahan regulasi, tetapi mengenai merajalelanya KKN dan inefisiensi birokrasi. Itu seharusnya jadi prioritas yang difokuskan oleh Pemerintah,” tuturnya.
Hidayat menilai RUU ini sangat condong kepada investasi asing dan banyak merugikan kepentingan kaum pekerja dari warga negara Indonesia, terutama para pekerja atau buruh.
“RUU ini tidak melaksanakan perintah pembukaan UUD NRI 1945, agar negara memprioritaskan melindungi tumpah darah Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia,” jelasnya.
Menurutnya, RUU Ciptaker ini tidak memberikan kepastian hukum sebagai bagian dari prinsip negara hukum yang dijamin oleh UUD NRI 1945. Ia menyebutkan bahwa awalnya RUU Ciptaker ini dihadirkan untuk memberikan kepastian hukum dan menyederhanakan peraturan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
“RUU ini justru mengamanatkan banyak ketentuannya untuk diatur dalam peraturan pemerintah (PP), sehingga membuat peraturan tidak menjadi sederhana, dan penuh spekulasi politik,” tukasnya.
Hidayat pun menyayangkan, meski banyak masalah dan masifnya penolakan oleh banyak elemen bangsa, RUU tersebut tetap diambil keputusan akhir dalam rapat paripurna DPR. Ia berharap, Presiden Jokowi mempertimbangkan serius masalah ini.
IG