Channel9.id-Jakarta. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyangsikan RUU Kesehatan akan mampu menyelesaikan penyelenggaraan layanan Kesehatan.
Ketua I Pengurus Besar IDI Slamet Budiarto mengatakan bahwa saat ini sistem pelayanan kesehatan di Indonesia memang “belum baik”. Hal ini, kata dia, bisa dilihat dari berbagai indikator, termasuk usia harapan hidup, angka kematian ibu dan bayi, stunting yang cenderung tinggi, dan sebagainya.
“Adapun semua aturan mengenai indikator tersebut ada di Kementerian Kesehatan,” ujarnya di acara diskusi bertajuk “Urgensi RUU Kesehatan: Upaya Meningkatkan Pelayanan Kesehatan di Indonesia” yang digelar oleh Tempo, Jumat (24/3).
Kemudian Slamet membeberkan apa saja hal yang menjadi masalah dalam pelaksanaan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), ada 80 persen peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berkumpul di puskesmas.
“Dengan persentase itu, ada kecenderungan peran puskesmas beralih ke kuratif. Padahal seharusnya fungsi puskesmas itu untuk promotif dan preventif. Kondisi ini memungkinkan promotif dan preventif terkendala,” terangnya. “Posyandu juga jadi tak berjalan baik. Ditambah lagi ada aturan kepegawaian dan lain-lain.”
Ia menjelaskan bahwa presiden telah memerintahkan Kemenerian Kesehatan (Kemenkes) agar hal-hal terkait pelayanan kesehatan itu diredistribusi. “Namun, sampai hari ini, Kemenkes tidak meredistribusi hal-hal terkait penyelenggaraan pelayanan kesehatan itu. Artinya, yang deket aja belum bisa diselesaikan,” pungkasnya.
Ia juga menyinggung bahwa perizinan untuk membuka klinik, yang merupakan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), sangatlah sulit. Padahal klinik dibutuhkan untuk membatu puskesmas dan pemerintah. “Tapi itu persyaratannya luar biasa sulit, dan itu siapa yang buat? Kemenkes,” pungkasnya.
“Perizinan rumah sakit juga luar biasa. Ditambah pembiayaan JKN yang kecil. Bagaimana sebuah rumah sakit memberi pelayanan optimal dengan tarif yang hanya segitu? Ke depannya harus di atur. Saat ini pun masih ada diskriminasi pasien,” sambung Slamet.
Masih sejalan dengan itu, ia juga menyinggung perihal produksi dokter. “Kita gembar-gembor produksi dokter kurang…Tapi saat kami diskusi dengan Kemenkes ternyata dari 100 persen lulusan dokter saat ini, yang diserap hanya 18 sampai 20 persen,” pungkasnya. “Artinya apa? Produksi yang sekarang saja pemerintah tidak sanggup menyerap semua.”
Bagi dokter, ada juga beban akreditasi. Slamet mengatakan bahwa pihaknya mempermasalahkan perihal dokter praktik mandiri. Menurutnya, di seluruh dunia tidak ada akreditasi untuk dokter praktik mandiri.
“Perlu dicatat, yang kita tolak bukan akreditasinya, melainkan pembiayaannya. Kalau pemerintah ingin menjamin mutu dengan akreditasi, kamu setuju dengan akreditasi, tapi dengan digratiskan. Tapi kalau dengan membayar sekian juta, maka itu akan membebani dokter praktik mandiri yang menjadi garda terdepan di kesehatan. Itu dari sisi FKTP,” tandasnya.
Lebih lanjut, Slamet mengatakan bahwa Indonesia harus membenahi sistem pelayanan kesehatan dari hulu, dimulai dari pembiayaan.
“Kita itu pembiayaan kesehatan hanya lima persen dari total APBN dan ini tak cukup untuk membuat program pelayanan kesehatan. Sementara itu, menurut standard WHO, minimal 15 persen,” ujarnya.
Slamet menjelaskan bahwa dengan pembiayaan yang cukup, maka Indonesia bisa membuat program dan sistem pelayanan kesehatan yang lebih baik. “Kalau JKN berjalan dengan baik, maka mengenai kuratif hingga rehabilitatif sudah selesai. Kemenkes hanya mengurus promotif preventif. Kualitas pelayanan puskesmas dan posyandu kembali ke fungsinya. Sementara, kuratif rehabilitatif sudah diselesaikan oleh BPJS,” jelasnya.
“Saya berharap DPR dapat melibatkan organisasi profesi untuk merumuskan RUU (Kesehatan) ini. Kita harus berhati-hati membahasnya. Menteri juga perlu meningkatkan komunikasi yang lebih imbang dan intensif dengan IDI. Jangan anggap IDI musuh,” tutupnya.
Baca juga: Ramai-Ramai Jegal RUU Kesehatan, Berpotensi Lemahkan BPJS