Nasional

Insiden Bakar Alquran, BPIP: Kegagalan Mengelola Perbedaan dan Kebebasan Berekspresi

Channel9.id-Jakarta. Insiden pembakaran kitab suci Alquran, yang dilakukan oleh Rasmus Paludan, pemimpin partai Stram Kurs (Garis Keras) sayap kanan Denmark menggemparkan dunia Islam.

Negara-negara seperti Arab Saudi, Yordania, Qatar, Kuwait, Malaysia, dan Indonesia mengutuk tindakan provokatif yang terjadi di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm, Swedia, 21 Januari 2023. Aksi protes rasis itu merupakan buntut perselisihan antara Swedia dan Turki. Turki menjegal upaya Swedia untuk menjadi anggota NATO.

Sejak lama hubungan Turki dan Swedia memang panas dingin. Swedia sebagai negara demokrasi memberi izin tinggal kepada kelompok oposisi Pemerintah Turki, Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Partai oposisi ini kerap kali mengadakan demo di Swedia dan Pemerintah Swedia membiarkan dengan alasan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Padahal baik di Turki maupun di Uni Eropa dan AS partai tsb. digolongkan sebagai kelompok teroris.

Baca juga: BPIP: Pancasilan Tahan Banting Dalam Gejolak Politik Nasional dan Global

Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, Darmansjah Djumala, menyebut setiap tindakan yang melecehkan simbol-simbol keagamaan, apalagi kitab suci suatu agama, tidak bisa dibenarkan. Diakui bahwa sebagai negara demokrasi Swedia menjamin kebebasan berpendapat dan bereskpresi.

Namun, katanya, kebebasan berpendapat tidak bergerak dalam ruang bebas nilai.  Meski kebebasan individu dijamin, ia berada dalam ruang sosial, dimana berlaku nilai-nilai yang beragam sebagai konsekuensi masyarakat yang majemuk.

Menurut Djumala, dibutuhkan tanggung jawab sosial dari setiap individu, dengan menunjukkan sikap toleransi terhadap keyakinan pihak lain. “Bebas tapi bertanggung-jawab. Bebas tapi tetap menghormati perbedaan,”ujarnya, Rabu (25/1/2023).

Jika suatu negara menghargai hak azasi manusia, lanjut Djumala, pada saat bersamaan juga harus menghormati hak individu untuk memeluk agama sesuai keyakinan.

“Jika negara mengusung nilai demokrasi tentu menghargai perbedaan dan menghormati agama dan keyakinan orang lain”, katanya.

Djumala melanjutkan, diperlukan kearifan untuk menjaga keseimbangan antara kekebasan berekspresi dan menghargai agama dan keyakinan orang lain.

“Jika di suatu negara masih terjadi pelecehan agama itu pertanda kegagalan dalam mengelola perbedaan dan kebebasan berekspresi,” pungkasnya.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

25  +    =  32