Nasional

Jalan Jihad Penjual Siomay Literasi (2)

Oleh: Tim Rumah daulat Buku (Rudalku)

Channel9.id – Jakarta. Kristianto tumbuh dari keluarga yang menghormati perbedaan. Saat bekerja di perantauan, ia sempat terjerembab ke dunia judi dan narkoba. Kini, ia bergerak di dunia pencerahan intelektual melalui gerobak motor siomay literasi kelilingnya.

Dari Solo ke Madura

Setelah menjalani masa kanak-kanak hingga tamat sekolah dasar, Kristianto pindah ke Madura ikut kakak sepupunya. Kepindahan itu atas keinginan bapaknya yang berprofesi sebagai pengayuh becak yang tetap ingin anaknya bersekolah. “Ikut kakakmu,” ujar bapaknya kepada Kristianto.

Di Madura, Kristianto memiliki kakak sepupu perempuan yang usianya lebih tua lima tahun dengan sikap beragama yang sama dengan bapaknya yang kejawen. Ia tinggal di Perumnas Kamal, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan. Ia melanjutkan sekolah di SMPN 1 Kamal.

“Saya bersyukur bisa sekolah di Madura. Belajar agama di sekolah dan dari orang-orang Madura yang agamis,” ujar Kristianto.

Saat di Madura-lah ia bisa melafalkan bacaan shalat dan shalatnya mulai tertata. Kristianto merasakan di Madura belajar agama seperti sebuah kewajiban. Bahkan, kalau nilai pelajaran agama jelek, ia diomeli oleh guru dan diperingatkan bisa tidak lulus. Praktik ibadah merupakan keharusan. Jumatan juga wajib di sekolah.

Baca juga: Jalan Jihad Penjual Siomay Literasi (1)

“Pada akhirnya saya membiasakan diri. Kalau tidak sholat bingung, kok ada yang kurang. Saya mulai terikat. Hingga merasa ibadah seperti kebutuhan,” ujar Kristianto.

Kembali ke Solo Lalu ke Jakarta

Setelah tiga tahun dan menamatkan SMP di Madura, Kristianto kembali ke Solo, ikut orang tua, dan bersekolah di SMEA Cokroaminoto 1, jurusan akuntansi. Memilih akuntansi ketimbang manajemen karena Kristianto suka pembukuan.

“Dulu ingin sukses, punya usaha, jadi direktur, angan-angan, hahaha,” ujar Kristianto sambil tertawa.

Setelah lulus SMEA pada 1997, Kristianto berkeinginan merantau ke Jakarta.

“Dalam hati saya kepingin kerja di Jakarta, tapi tidak punya koneksi, kurang bergaul,” ujar Kristianto.

Suatu waktu, Pak Dikin, tetangga yang sudah ia anggap sebagai saudara datang bawa tas, lalu ia tanya, “Mau kemana?” Dia jawab, “Jakarta, kerja.” Keinginan Kristianto pun terkabul. Sore itu juga ia berangkat bersama Pak Dikin ke Jakarta.

Di Jakarta ia bekerja di sebuah optik di Duren Tiga, Jakarta Selatan, milik seorang pengusaha keturunan Arab asal Solo.

“Selama bekerja di Jakarta, saya tidur di toko,” kisah Kristianto.

Setelah enam bulan di Jakarta, ia lalu kembali ke Solo. Di Solo ia bekerja di Pasar Klewer, di kios sepatu sandal milik orang Arab. Setelah itu, ia berjualan es teh pinggir jalan dan pernah pula berjualan jagung bakar.

Terjebak Narkoba Sebelum Menikah

Saat itu, sebetulnya Kristianto berniat ingin menikah. Tapi, ia belum bertemu jodoh. Hampir setahun. Pada akhir 1998, ia kembali bertemu dengan Pak Dikin.

“Mau kemana?” tanya Kristianto. “Surabaya,” jawab Pak Dikin.

Malam itu bertemu, malam itu pula berangkat ke Surabaya. Di Surabaya, ia bekerja di klinik pengobatan mata dan wasir milik seorang pungusaha asal Pakistan di Jalan Kapas Kerampung, Kenjeran, Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya.

Sayangnya, di Kota Pahlawan itu Kristianto terjebak dalam lingkungan yang tidak baik. Bukan lingkungan jauh, tapi di klinik sendiri. Ia bersama rekan-rekannya, termasuk sang bos, bermain judi dan mengonsumsi narkoba. Di awal-awal masih shalat, tapi lama-kelamaan meninggalkan shalat.

“Saya mengonsumsi shabu, sampe badan kurus.”

“Lama-kelamaan, saya stres,” ujar Kristianto. Kepada diri sendiri ia bertanya, “Apa sih yang saya cari?” Beruntung ketika itu ia punya teman warga setempat yang sering main ke klinik. “Waktu saya curhat, jawabannya bagus.” Kristanto curhat: “Capek nih.” Rekannya bilang: “Rabiyo!” (Nikahlah!). Kristianto menimpali: “Rabi karo sopo?” (menikah dengan siapa?).

Kristianto belum punya rencana menikah karena tidak punya teman wanita. Rekannya bilang: “Ya sholato, tahajud!” (Salatlah, tahajud!).

Kristianto merasa, Allah yang menuntun rekannya itu untuk menasihati dirinya. “Dia asli Madura. Pernah bekerja di diskotek Kwaloon , Surabaya.” Atas nasihat rekannya itu, Kristianto mulai menjaga diri dari konsumsi narkoba, lalu shalat tahajud.

Sebelum dinasihati oleh rekannya itu, Kristianto pernah liburan ke Madura. Saat itu ia bertemu dengan seorang teman perempuan saat SMP yang juga tetangganya di Madura. “Saya bilang, gole’no aku pacar to.” (carikan aku pacar dong). Waktu ketemu itu Kristianto bicara tidak serius.

Seminggu setelah mengobrol dengan temannya yang pernah kerja di diskotek, teman SMP Kristanto yang saat itu sudah di Malang menelepon. Tahu bahwa teman SMP-nya berada di Malang, Kristianto bilang, “Jarene Malang ayu-ayu (katanya orang Malang cantik-cantik),” canda Kristanto. Si teman SMP itu menjawab, “Katanya cari pacar, ini ada temanku yang mau kenalan.” Kristianto bilang, “Ojo guyon,” (jangan bercanda). “Tenanan iki.” (Ini beneran).

Pada mulanya Kristianto enggan bertemu dengan Sri Winarti, wanita asal Sidoarjo yang kuliah program D3 di sebuah perguruan tinggi di Malang dan memiliki usaha rental komputer, karena ia belum lama lepas dari narkoba. Tapi akhirnya Kristianto memutuskan bertemu Sri Winarti.

Pada 2001 Kristianto-Sri Winarti menikah. Setelah menikah, bersama Sri Winarti, Kristianto tinggal di Malang mengelola usaha rental komputer. Selain itu, ia juga pernah membuka usaha warung internet (warnet). (Bersambung)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3  +  4  =