Oleh: Awalil Rizky*
Channel9.id-Jakarta. Defisit Transaksi Berjalan (Current Account Deficit (CAD) meningkat dari 7,0 miliar dolar (2,6% dari PDB) pada triwulan sebelumnya menjadi 8,4 miliar dolar (3,0% dari PDB) pada triwulan II-2019. Bank Indonesia (9 Agustus) menjelaskan bahwa hal itu dipengaruhi perilaku musiman repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri, serta dampak pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat dan harga komoditas yang turun.
Bank Indonesia juga menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang melambat antar kuartal menyebabkan rasio defisit Transaksi Berjalan pada kuartal II juga ikut membengkak. Dikatakan bahwa pelebaran defisit secara nominal dari kuartal I ke kuartal II tahun ini lebih kecil dibanding tahun lalu, namun pertumbuhan PDB secara nominal justeru melambat. Akibatnya, rasio defisit pun meningkat.
Meskipun demikian, Bank Indonesia masih optimis dan memprakirakan defisit tahun 2019 dalam kisaran 2,5%-3,0% PDB, dan akan lebih rendah dari tahun lalu. Defisit Transaksi Berjalan tahun 2018 tercatat sebesar 31 miliar dolar (2,98% dari PDB).

Optimisme Bank Indonesia kali ini terasa berlebihan dan tidak memiliki alasan yang meyakinkan. Sebagai contoh, faktor musiman yang dimaksud Bank Indonesia tidak dapat dijadikan patokan lagi, mengingat makin tersebarnya waktu pembayaran bunga utang luar negeri pemerintah dan swasta.
Defisit triwulan II-2019 kemungkinan menjadi defisit terbesar pada tahun yang bersangkutan, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Namun laju kenaikannya telah melampaui tahun 2017 dan 2018. Sebagaimana diketahui pula, defisit triwulan I-2019 telah lebih dahulu mencatat laju kenaikan tertinggi sejak tahun 2015.
Alasan dampak pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat dan harga komoditas yang turun bagi melebarnya defisit pada triwulan II justeru masih akan terjadi lagi pada dua triwulan tersisa. Dampak langsungnya adalah pada kinerja ekspor. Ekspor barang yang telah mengalami kontraksi pada triwulan I dan II terancam akan terus berlangsung hingga akhir tahun.
Secara musiman, nilai ekspor barang triwulan III dan IV akan meningkat, namun berpotensi lebih rendah dari tahun sebelumnya. Ditambah lagi dengan perhitungan nilai impor yang secara musiman juga akan meningkat, sehingga neraca perdagangan barang (Goods) akan sulit untuk surplus.
Sebagai catatan, pada semester pertama tahun 2018 masih surplus sebesar 2,6 miliar dolar, namun pada semester keduanya justeru defisit sebesar 3,04 miliar dolar, sehingga akhirnya mengalami defisit. Padahal, surplus hanya sebesar 1,38 miliar pada semester pertama tahun 2019 ini.
Komponen lain dari Transaksi Berjalan yang berpeluang memperbesar defisit adalah Neraca Jasa (Services). Satu semester berjalan tercatat telah defisit sebesar 3,83 miliar dollar, meningkat dibanding semester satu tahun lalu. Perlu diperahatikan bahwa tekanan defisit pada triwulan III antara lain adalah dampak musim haji. Secara tahunan, neraca jasa kemungkinan meningkat dari tahun lalu yang sebesar 7,07 miliar dolar.
Tekanan defisit dari Neraca Pendapatan Primer (Primary Income) akan berkurang pada dua triwulan sisa karena banyak repatriasi pembayaran dividen telah dilakukan. Namun, arus pembayaran bunga utang luar negeri masih akan memberi tekanan, karena sebaran waktunya makin merata. Total defisitnya diprakirakan sedikit meningkat dibanding tahun 2018 yang sebesar 30,44 miliar.
Sebagaimana biasanya, salah satu “penolong” kondisi Transaksi Berjalan adalah surplus dari Neraca Pendapatan Sekunder (Secondary Income). Surplus terutama disumbang oleh penerimaan remitansi Tenaga Kerja. Surplus neraca pendapatan selama satu semester 2019 telah mencapai 3,89 miliar dolar. Akan tetapi karena hari raya telah lewat, kemungkinan ada peningkatan besar lagi di sisa tahun. Secara tahunan, diprakirakan akan sedikit lebih baik dibanding tahun 2018 yang mencatat surplus sebesar 6,89 miliar dollar.
Dari uraian di atas, penulis memprakirakan defisit secara nominal akan mencapai 33 miliar dolar atau lebih dari 3% dari PDB. Dan tidak banyak hal yang bisa dilakukan oleh otoritas ekonomi untuk memperbaikinya dalam waktu singkat.
Perlu diingat bahwa otoritas ekonomi (Pemerintah dan Bank Indonesia) telah berulang kali selama beberapa tahun terakhir mengatakan tekad memperbaiki kondisi transaksi berjalan. Hasilnya masih seperti yang dihadapi tahun 2019 ini. Bisa saja dikemukakan alasan bahwa faktor global dan faktor pelaku ekonomi diluar otoritas lebih berpengaruh.
Akan tetapi telah makin jelas keperluan evaluasi kebijakan yang lebih menyeluruh dan berperspektif jangka panjang. Jika ditelisik lebih cermat, ada indikasi permasalahannya berakar dari fundamental ekonomi yang belum kuat. Kata kunci dari fundamental ekonomi suatu negara adalah kemampuannya berproduksi secara berkelanjutan.
Chief Economist Institut Harkat Negeri (IHN)*