Channel9.id – Jakarta. Globalisasi telah memasuki Revolusi Industri berbasis Teknologi Informasi generasi 4.0. Awalnya globalisasi saja sudah menjadi tantangan yang cukup berat untuk semua negara-negara berkembang, meski tak jarang negara maju pun menerima dampak negatifnya. Revolusi Industri 4.0., turut masuk daftar listing tantangan baru, khususnya bagi dunia pendidikan, hal tersebut disampaikan oleh Juri Ardiantoro PhD dalam pembukaan Seminar Pendidikan Dalam Rangka Menghadapi Revolusi Teknologi 4.0.
Lebih lanjut ia mengatakan ,” Revolusi Industri Generasi 4.0itu sudah mulai menetrasi berbagai aspek kehidupan, dan tatanan sosial. Dunia pendidikan nasional tidak memiliki pilihan selain merespon tantangan tersebut.Persoalan dunia pendidikan yang sudah kronis, maupun yang muncul sebagai ekses dari terjangan gelombang Revolusi Industri 4.0 sudah semestinya dipecahkan,”jelasnya.
Salah satu pembicara yang diundang, Prof Dr. Hafidz Abbas, mengatakan,“Pendidikandi Indonesia terus terpuruk karena tidak dianggap sebagai permasalahan hidup mati”, tuturnya. Prof.Dr. Hafidz Abbas yang mengawali presentasi mencontohkan kesuksesan Malaysia dalam memajukan pendidikan mereka. “Malaysia sukses memperbaiki sistem pendidikannya karena bagi Malaysia education adalah persoalan hidup mati. Lalu bagimana dengan Indonesia? Pendidikan di Indonesia terus terpuruk karena tidak dianggap sebagai permasalahan hidup mati,” ungkapHafidz.
Selain Hafidz Abbas,dalam seminar hari ke-2 itu, menghadirkan Guru Besar Universitas PendidikanIndonesia, Prof.Dr. Nana Supriatna, M.Ed., Praktisi dan Pengamat Pendidikan dariPT Wacana Tata Akademika,Eka T.P. Simanjuntak, dan Staf Ahli Menteri Pendidikan& Kebudayaan bidang Hubungan Pusat & Daerah James Modouw. IKA UNJ mengundang keempat pembicara untuk membahas sejumlah permasalahan pendidikan Indonesia yang kronis, serta permasalahan baru yang muncul sebagai dampak darigelombang Revolusi Industri 4.0.
“Dalam Seminar hari kedua yang dimoderatori oleh AbdullahTaruna tersebut, Prof Dr. Hafidz Abbas kemudian menunjukkan sejumlah indikator ketidakseriusan penanganan pendidikan di Indonesia. Sejak Undang-undang No. 20tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mewajibkan pemberlakuan anggaran pendidikan sebesar 20 persen APBN, banyak pihak berharap kualitas lulusan Indonesia meningkat tajam, setidaknya bila dibandingkan negara-negara AsiaTenggara. “Dengan pemberlakuan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN ternyata pendidikan di Indonesia masih terjelek di dunia,” ungkap Guru Besar UNJ, Hafidz Abbas.
Pernyataan Hafidz Abbas bukan tanpa dasar. Hafidz merujuk buku Bank Dunia berjudul “Spending More or Spending Better: Improving EducationFinancing in Indonesia (Belanja Lebih Banyak atau Belanja Lebih Baik:Memperbaiki Pembiayaan Pendidikan di Indonesia” Buku”. Hasil Penelitian yang diluncurkan pada 14 Maret 2013 itu menelitidampak pemberlakuan anggaran sejak sepuluh tahun terakhir (2002 s.d. 2012). Bank Dunia menyimpulkan, bahwa 20 persen APBN yang dibelanjakan untuk sektor pendidikan belum membuahkan capaian pendidikan yang diharapkan.
Hingga 5 tahun sejak laporan itu diterbitkan, kualitas output pendidikan Indonesia masih belum beranjak naik. Indikator SDM Indonesiayang memprihatinkan kembali dirilis pada 2018. Ranking Indonesia dalam penilaian Programme for International Student Assesment (PISA), menempatkan kualitas SDM Indonesia di urutan 62 dari 69 negara. Dan Indonesia peringkatnya masih di bawah Vietnam_negara yang baru belakangan memberlakukan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN. Laporan keterpurukan itu sama buruknya dengan Human Capital Index (Indeks Modal Manusia) yang dirilis World Bank pada tahun2018.Dibanding negara negara ASEAN, peringkat human capital Indonesia berada diurutan terbawah.