Oleh: Indra J Piliang*
Channel9.id-Jakarta. Jakarta lebih sigap, namun teduh, dalam bertindak menghadapi pandemi Virus Covid-19. Pemerintahan nasional, dalam arti kabinet yang dikomandoi Presiden Jokowi, terlambat beberapa jeda. Tak ada kepanikan warga Jakarta, jika ukuran yang dipakai adalah rilis demi rilis Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan. Publik nasional pun tenang. Yang bergerak bukan figur, tapi sistem.
Jakarta lebih sistematis dan terorganisir. Sama sekali tak ada nuansa “persaingan”, apalagi “perebutan” ketokohan antara Anies versus Jokowi. Anies sangat sadar, Panglima Perang Nasional tetap berada di tangan Jokowi. Skala perang tak bersifat nasional, tapi multinasional. Panglima Perang Nasional pun tak punya induk pasukan. Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah memberi mandat kepada World Health Organization (WHO) guna mengatasi kesehatan publik internasional. WHO sudah mengirimkan surat yang bisa dibaca dan diketahui publik.
Tingkat kematian yang lebih tinggi dari kesembuhan, langsung menempatkan Indonesia pada posisi rentan. Bagi warga yang sudah langsung melakukan isolasi diri, terdapat waktu yang lebih untuk berkomunikasi. Berbeda dengan isu-isu politik yang bisa memecah-belah Whats App Grup (WAG), terdapat saling kerjasama yang memadai antara anggota. Persepsi politik tak bisa dihindari. Objektivitas kinerja para pemimpin terus dipantau warga.
Walau terjadi perang yang tak diundang, pun tanpa pernyataan perang, sungguh organisasi penanganan virus Covid-19 ini sama sekali tak bernuansa perang. Kabinet bukanlah kabinet perang. Istana tak tampak sedang berperang. Badan Intelijen Negara (BIN) yang tiba-tiba tampil ke depan, makin membuat bias ketakutan yang dihadapi. Sebab BIN bertugas menghadapi pihak (intelijen) asing, bukan tiba-tiba ahli tentang epidemi virus. Operasi senyap yang diharapkan, ternyata memicu dinamika pendapat yang lebih serius.
Sejumlah WAG seakan muncul sebagai bagian dari “operasi politik”, baik dalam menjatuhkan atau mempertahankan seseorang. Sound bite dan frase khas politik Jakarta 2017 dan Indonesia 2019 kembali mencuat. Virus yang paling mematikan inipun tak membuat orang-orang saling bekerjasama dan sama-sama kerja. Karakter bangsa kepiting yang saling menjatuhkan terus-menerus terasa.
Indonesia beruntung. Warga sudah sangat kuat. Terutama pada level keluarga. Saling jaga. Saling sapa. Bersiap menunggu keadaan terburuk. Justru ketika statistik korban Covid19 di seluruh dunia sedang menurun. Virus bergerak ke negara-negara Afrika. Berpetualang mencari korban. Tak menunggu agama, warna kulit, kondisi ekonomi. Dalam masa “karantina” kolektif atas kesadaran pribadi, warga memandangi layar smartphone. Info apapun dicerna, tak mudah lagi ditelan mentah. Rasionalitas menguat. Objektivitas meningkat.
Dimana Jokowi?
Jelas sudah, kabinet sama sekali tak siap dengan turbulensi kesehatan publik ini. Walau tak kekurangan orang, Jokowi memilih dari yang sudah tersedia. Jabatan ganda. Sesuatu yang memang sudah mesti dipikirkan matang dalam periode kedua. Tumpang tindih organisasi begitu terasa. Peraturan-peraturan presiden yang memuat jabatan wakil menteri, tetapi tak segera diisi. Penambahan nomenklatur baru pada kementerian-kementerian yang sudah mapan. Barisan staf-staf khusus yang berasal dari perwakilan pemodal. Seperti borjuasi politik kapitalis di Amerika Serikat.
Padahal, virus sudah mengirimkan pesan penting. Kapitalisme klasik yang disangga capital flight sudah terancam kalah. Modal mau lari kemana lagi guna meraih untung, ketika virus tak bisa diterka kemana terbangnya. Sistem sosialisme pasar yang digunakan Cina terbukti lebih efektif. Gabungan antara pemaksaan negara, warga terlatih, dan penggelontoran uang yang begitu besar kepada riset-riset dasar. Partai Komunis Tiongkok (PKC) tidak hanya membangun 40 universitas guna mendidik kader-kadernya. PKC pun membangun laboratorium ilmu kedokteran sejak serangan virus-virus terdahulu.
Udara yang bertuba akibat polusi, langsung segar ketika virus datang. Seakan menyuruh mesin-mesin berteknologi tinggi istirahat sejenak.
Cina langsung meraih “untung” raksasa, ketika pulih dalam waktu cepat. Indonesia? Seakan tetap menjadi negara yang super kaya. Insentif demi insentif disuntikkan. Baik, para pekerja kesehatan layak dijadikan pahlawan. Mereka berada di zona peperangan yang penuh mesiu, darah, dan korban. Sejumlah dokter terbaik, bahkan satu keluarga, tewas di medan perang itu. Mereka sangat layak dapat insentif. Bahkan bagi seluruh anggota keluarga mereka.
Insentif buat yang lain? Tunggu dulu. Apalagi bagi seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN). Pemerintahan sudah hampir satu semester bekerja. Namun apa yang sudah dilakukan? Capaian yang nyata dari hasil keringat mereka? Bukankah hari libur yang ditambah? Belum lagi liburan akibat bencana alam yang datang beberapa pekan. Ketika pihak swasta kehilangan pekerjaan, tak bisa bekerja, kenapa meritokrasi tak lantas berdiri? Birokrasi yang terlalu dimanjakan malahan memunculkan kelembaman.
Sejumlah usulan sempat dipikirkan, yakni pengurangan total jumlah ASN. Titik tuju tahun 2045 adalah peralihan generasi. Bonus demografi yang berarti kelebihan angkatan kerja. Hampir tak ada kerangka guna mencapai itu. Terkecuali, semantik. Jumlah kata millenial yang menggurita berita dan cerita. Jajaran menteri dan wakil menteri berusia muda. Staf-staf khusus dari istana, hingga kantor-kantor kementerian. Seakan, esok adalah tahun 2045 itu. Satu Abad Indonesia merdeka.
Padahal, jauh panggang dari api. Kesadaran yang tak diwujudkan dalam pelembagaan sistem. Ketika Corvid-19 datang, traktat dari langit sudah hadir. Mereka yang senior, paling tidak berada pada usia 50-70 tahun, sudah seyogianya dipensiunkan lebih cepat. Istirahat sebagai senior citizen. Mereka yang kesulitan menggunakan smartphone terbaru. Pejabat yang butuh sejumlah asisten, tim, hingga satuan tugas guna menggunakan teknologi.
Orang-orang tua yang minta semua paham: tidak ada hukum yang dilanggar, ketika anak, menantu, ataupun kerabat dekat bekerja di kantor dan bahkan ruang yang sama. Satu atas nama jabatan, satu lagi disebut magang. Rakyat Indonesia sudah sangat paham, dengan kearifan yang menumpuk. Virus? Tak bakal mau paham.
Dunia sedang melambat jalannya. Sudah saatnya Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara tangkap momentum langka ini. Potong satu generasi jabatan, bukan lagi mengutak-atik eselonisasi, tapi memasukkan sejumlah nomenklatur dan jabatan baru kepada sejumlah kementerian, badan, atau lembaga. Vladimir Putih pernah lakukan itu, memangkas jumlah birokrasinya. Sembari memangkas, Jokowi bisa lakukan penghematan lagi, yakni tak lagi memberikan gaji ke13 atau gaji ke14 bagi mereka yang sudah untung tak dipangkas. Teknokrat-teknokrat Orde Baru yang dibenci itu, sangat kikir dalam menambah jumlah birokrasi.
Berilah ASN yang baru masuk harapan. Bahwa mereka tak bakal lama antri, guna mendapatkan reward and achievement. Yakni, mereka menyaksikan orang-orang seumuran paman, bapak, atau kakek mereka sudah membersihkan meja kerja. Generasi yang segera undur diri dari penyelenggara negara. Mereka yang mulai menyusun kalender wisata, ketika uban sudah datang, kerut tak bisa berdusta. Lapisan ASN itu akan bekerja dua kali-lipat lebih keras, guna membuat nyaman para pensiunan yang datang dari pihak keluarga terdekat itu.
Atau yang kita dapat dari Covid-19 hanya statistik demi statistik? Sebagaimana setiap pemilu juga sama?
*Tim Penjamin Kualitas Reformasi Birokrasi Nasional RI 2015-2019