Oleh: Azmi Syahputra ( Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia/Alpha).
Kasus Dirut PT Garuda Ari Askhara yang dipecat oleh Menteri BUMN pada 5 Desember lalu, menjadi genderang baru untuk bersih -bersih area wilayah kabinet Presiden Jokowi. Setelah minggu lalu Jaksa Agung tangkap melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) anak buah sendiri yang memeras saksi, kini Menteri BUMN dan Menteri Keuangan “menangkap tikus” di BUMN plat merah tersebut, yaitu bos maskapai nasional Garuda.
Dengan perilaku seorang Direktur Utama yang berbuat curang seperti ini, menunjukkan kualitas dirinya selaku pimpinan, tanda perilaku keserakahan akan tahta, yang dipergunakan untuk gaya hidup yang tidak tepat. Karena sepak terjangnya diketahui sejak awal pengangkatannya pada September 2018 telah banyak mengeluarkan kebijakan yang kontroversi, tidak membuat nyaman secara internal maupun eksternal bahkan cenderung merugikan dan memanipulasi laporannya, tepatlah pepatah mengatakan “sepandai- pandainya tupai melompat pasti akan terpeleset juga”.
Jika dilihat perbuatan Direktur Utama ini sangatlah disengaja, secara sadar, dilakukan karena terbiasanya berbuat dengan cara cara curang dan membuat mekanisme lingkungan bekerja tidak dengan tata kelola yang baik, mental pimpinan begini tidak berintegritas, tidak memahami tanggung jawab dan dalam prakteknya cenderung menekan anak buah.
Terlepas dari fakta yang terungkap dan telah diketahui saat ini, dimana terbukti didapati ada paket motor Harley Davidson dan beberapa sepeda mewah yang diselundupkan dalam pesawat A 330-900 yang nilainya setara Rp 1,5 Milyar tersebut, ini nyata nyata terpenuhi unsur perbuatan menyalahgunakan wewenang, tindakan yang melawan hukum, menyembunyikan (menutupi) barang yang diimpor, menghindari pajak guna memperoleh keuntungan secara pribadi.
Maka bila mengacu pada Undang undang Khusus dengan memperhatikan bentuk perbuatan mana yang dominan dan konstruksi hukum yang terjadi (Lex Specialis Derogat Generali) maka pada dirinya harus diminta pertanggungjawaban hukum sesuai perbuatannya.
Jadi Menteri BUMN selanjutnya harus mendorong dan menyerahkan pula kasus ini setelah koordinasi dengan pihak Bea Cukai untuk selanjutnya kepada penyidik Kepolisian, Kejaksaan atau KPK sekalipun untuk menggali dan mengembangkan modus lebih jauh peristiwa tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi pidana ini antara lain tindak pidana penyelundupan, pidana kepabeanan, atau pidana perpajakan termasuk jika ada unsur korupsinya serta guna mengetahui pihak lain yang ikut serta diuntungkan dan bermain dari tindakan perbuatan curang ini.
Kepada diri pelaku mantan Direktur Utama ini semestinya dikenakan ancaman hukuman kumulatif (ganda) maksimal, mengacu Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, diatur tentang tindak pidana penyelundupan vide pasal 102, dapat dikenakan 10 Tahun penjara dan denda Rp 5 Miliar agar hukumannya sesuai dengan perbuatannya yang sangat mencoreng nama baik PT Garuda yang terus berbenah.
Dengan hukuman kumulatif maksimal dapat dijadikan contoh bagi unit BUMN lainnya untuk tidak berbuat curang terkhusus lagi bagi pimpinan yang semestinya menjadi contoh teladan bagi bawahannya dan stakeholder lainnya. Tanpa itu semua, tujuan BUMN sebagai salah satu soko guru perekonomian negara tidak dapat tercapai.