Oleh: Irwan Makdoerah, PhD*
Channel9.id-Jakarta. Banyak industri di Indonesia yang membutuhkan gula sebagai bahan baku. Tapi ini bukan berbicara masalah kebutuhan bahan bakunya. Namun, rancangan kebijakan pemerintah perihal impor gula langsung oleh pengguna lah yang perlu kita telaah dampaknya.
Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah sebaiknya tidak mematikan atau melemahkan posisi industri pendukung lainnya. Malah sebaiknya industri pendukung itupun harus terangkat bersama-sama dengan industri lainnya. Jangan ada yang tertinggal atau ditinggalkan. Semuanya sama. Harus terangkat.
Di tengah upaya merangsang pertumbuhan ekonomi, tentunya kebutuhan konsumsi sangat tergantung dari produsen. Akan tetapi, jika produsen mendapatkan semacam kebijakan yang akan berbuah melemahkan industri lainnya, ini yang perlu diwaspadai.
Impor langsung oleh pengguna atau end-user memang untuk mencegah adanya mafia atau kartel. Tetapi untuk kasus gula, ada industri yang saat ini malah posisinya pun tengah berjuang untuk bagaimana mempertahankan hidup mereka.
Pabrik Gula milik BUMN, sebagai contoh. Mereka mendapatkan pasokan tebu dari petani. Tidak cukup memang untuk memenuhi kebutuhan nasional. Tahun 2020, sebagai contoh, gula untuk konsumsi diproyeksikan sekitar 3.6 juta ton sementara tahun 2019 realisasi produksi gula tebu tercatat sekitar 2.2 juta ton.
Baca juga: Importir Dituding Jadi Penyebab Harga Gula Petani Semakin Turun
Jika menggunakan realisasi produksi tahun 2019 sebagai proyeksi produksi gula tahun 2020, tampaknya masih diperlukan impor gula mentah. Agar kebutuhan konsumsi dapat terpenuhi. Di sisi lain, ada kebutuhan gula industri. Memang ada Pabrik Gula Rafinasi yang ditujukan untuk memproduksi kebutuhan gula industri. Mereka pastinya juga mengimpor gula mentah.
Sayangnya, ada juga Pabrik Gula yang berbasis tebu, namun 80% hasil produksi mereka, ternyata malah berasal dari olahan gula mentah atau raw sugar. Ini yang belum diatur secara baik dan tegas.
Jika rancangan kebijakan akan mengarah kepada industri yang membutuhkan gula sebagai bahan baku, dan dapat mengimpor secara langsung, apakah hal ini tidak menimbulkan tumpang tindihnya kebijakan?
Dikhawatirkan, pada akhirnya, malah rakyat yang menderita. Siapa yang dapat mengendalikan harga eceran gula konsumsi jika melambung tinggi? Rakyat membutuhkan gula. Namun jangan lah beban itu dipindahkan ke rakyat.
Belum lagi kita berbicara masalah pengawasan atas impor langsung oleh industri pengguna. Apakah kita meyakini pengawasan dapat berjalan dengan baik? Jika pengawasan lemah dan banyak yang merembes ke pasar, sekali lagi, ini tidak akan menguntungkan industri lainnya.
Ada baiknya, Presiden dengan hak yang dimilikinya, segera mengeluarkan kebijakan serta aturan yang tegas dan tidak melemahkan industri lainnya.
Tata Niaga Gula memang sudah semrawut. Belum pernah ada tercipta satu kebijakan yang baik dan komprehensif. Namun untuk urusan impor gula, sebaik-baiknya ditunjuklah BUMN sebagai importir tunggal. Satu pintu. Tujuannya agar kebutuhan impor dan penggunaannya terawasi dengan benar. Secara teoritis, BUMN dimaksud seharusnya tidak akan berani melakukan hal yang melemahkan governance. Bangun BUMN yang lebih baik karena pada dasarnya mereka adalah milik negara dan harus transparan kepada publik.
Jika tujuan dari kebijakan ini adalah untuk keekonomian, jangan sampai Pabrik Gula berbasis tebu yang ada di Indonesia, malah terjerat dengan polemiknya sendiri. Jangan sampai petani tebu malah berujung kepada kelunturan semangat dalam berbudi daya tebu. Kebijakan tata niaga gula tebu dan gula rafinasi harus dibenahi terlebih dahulu.
Ini untuk kebaikan Indonesia. Kebaikan untuk anak cucu kita agar mereka tidak diwariskan kesemrawutan kebijakan.
*Praktisi Manajemen dan Bisnis