Health Opini

Kejahatan Obat?

Oleh: Chazali H. Situmorang*

Channel9.id-Jakarta. Dalam kasus gagal ginjal akut pada anak, Kepala BPOM Penny Lukita mengatakan dalam Raker bersama Komisi IXX DPR RI, Rabu (2/11), “Ini adalah satu bentuk kejahatan obat, artinya kejahatan kemanusiaan”. Videonya beredar di media sosial.

Pada narasi berikutnya, Ka.BPOM juga menegaskan bahwa kajian causalitas atau sebab dan akibat masih dalam penelitian, jadi belum bisa dibuktikan causalitas antara obat yang tercemar EG dan DEG dengan kejadian gagal ginjal akut pada anak. Tetapi kalau korelasi ada. Bentuk ungkapan yang sudah mem- framing “Kejahatan Obat”.

Terkait “Kejahatan Obat” ada yang menarik komentar teman saya di group WA, bahwa obat bukan pelaku yang bisa melakukan aksi kejahatan. Adalah keliru jika pisau atau bedil disebut melakukan kejahatan. Pelakunya tentu orang atau sekumpulan orang/organisasi yang melakukan produksi atau yang meregulasi /menguasai tentang obat. Jadi salah alamat jika disebut “ Kejahatan Obat”.

Merujuk pendapat teman itu, maka apa yang disampaikan oleh Ka.BPOM tentang adanya “Kejahatan Obat” keliru alias ngawur, apalagi masih belum sampai pada tahapan pembuktian causalitas, sudah mengantongi judulnya “Kejahatan Obat”.

Teman-teman sejawat apoteker mengeluh dan sangat terpukul dengan penyebutan “Kejahatan obat”. Obat itu identik dengan apoteker/pharmacist. Jika bicara obat, di benak masyarakat adalah apoteker atau tenaga teknis kefarmasian yang melayani pemberian obat. Ya…obat identik apoteker. Mereka diberi otoritas oleh Undang-Undang untuk memproduksi obat, mendistribusi dan memberikan obat pada pasien langsung (obat bebas) maupun in manus medicine atau melalui resep dokter.

Dengan istilah “Kejahatan Obat” yang digunakan Ka. BPOM dalam forum Raker Komisi IX DPR-RI, maka asosiasi atau image yang terbentuk di pikiran pasien adalah; obat sama dengan apoteker. Di apotik tempat saya berpraktek, pasien akan puas jika saya yang menjelaskan obat yang mereka beli. Jangan sampai masyarakat memaknai “Kejahatan Obat” itu dimaksudkan kejahatan apoteker dan sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan.

Pandangan Ka.Badan POM, tentang “Kejahatan Obat” itu, tidak semakin mendinginkan persoalan kematian anak akibat gagal ginjal, bahkan menimbulkan perasaan terpojok, tertuduh, dan sedih yang mendalam di kalangan apoteker termasuk mereka yang bekerja di BPOM dan Balai POM.

Seharusnya, dipilih narasi yang tepat sesuai dengan kasus yang dihadapi. Apakah tidak lebih tepat disebut “ada industri farmasi yang memproduksi obat sirup untuk anak-anak tercemar EG dan DEG di atas ambang batas 0.1% sehingga menimbulkan keracunan atau toksik.”.

Kemudian jelaskan bagaimana alur seharusnya proses produksi obat dan ketersediaan bahan bakunya, dan bagaimana kenyataannya yang menimbulkan kesenjangan yang diduga telah menimbulkan korban jiwa anak-anak 159 orang sampai 2 November 2022. BPOM harus dapat menjelaskan itu sesuai fakta dan transparan.

Kesenjangan inilah yang kita tarik sebagai masalah. Masalah itu tunggal atau kompleks. Masalah itu apakah berdiri sendiri atau berkaitan satu dengan lainnya diantara mereka yang bertanggungjawab atas kebijakan penyediaan bahan baku, baik yang non – pharmaceutical grade maupun pharmaceutical grade. Siapa yang mengawasi untuk tidak masuknya bahan baku (eksipien) yang non pharmaceutical grade kedalam pembuatan obat suatu industri farmasi yang ternyata sudah mengantongi Nomor Izin Edar (NIE) dari BPOM.

Bagaimana sebenarnya mekanisme pemeriksaan pre-market dan post-market yang dilakukan BPOM? Apakah sudah maksimal? Kenapa BPOM tidak membuat diskresi mengharuskan bahan baku eksipien yang digunakan untuk pencampuran obat harus pharmaceutical grade sehingga memiliki SKI.

Jadi gap yang disampaikan Ka.BPOM dalam Rapat Kerja dengan DPR Komisi IX itu multikompleks. Termasuk pengakuannya bahwa dari 222 indusrtri farmasi itu maturitasnya tidak seragam. Ada sebanyak 15% yang baik, 59% sedang, dan 26 % minimal. Tiga industri farmasi yang ditutup produksinya termasuk dalam kelompok minimal tersebut. Pertanyaannya tanggung jawab siapa membuat industri farmasi itu maturitasnya tinggi, sedang dan seharusnya tidak ada yang minimal. Tentu BPOM tidak bisa berlepas tangan,

Kita juga harus fair dalam melihat persoalan ketiga industri farmasi yang ditutup tersebut. Tentu setiap industri farmasi ada apoteker sebagai penanggung jawabnya. Dalam persoalan ditemukannya EG DEG di atas ambang batas dalam obat sirup untuk anak, perlu didalami. Apakah ada SOP yang dilanggar. Bagaimana mitigasinya?. Apakah ada unsur kesengajaan, kelalaian, ketidaktahuan? Apakah karena perhitungan bisnis untuk margin yang besar, persaingan industri farmasi yang tidak sehat?. Dari situ nantinya dapat disimpulkan apakah ada kejahatan dalam industri farmasi yang dilakukan oleh pengelola atau manajemen, maupun apoteker penanggungjawab industri farmasi.

Dalam upaya meredam isu “ Kejahatan Obat” itu, PP IAI telah mengadakan konsolidasi dengan PD-PD IAI untuk memberikan ketenangan pada semua anggota IAI. Meminta klarifikasi kepada Ka.BPOM apa yang dimaksud dengan “Kejahatan Obat” dan pembuktiannya.

Bagi Apoteker Penanggung Jawab (APJ) di tiga industri farmasi yakni Afi Farma, Yarindo, dan Universal, perlu diperiksa oleh Majelis Etik IAI, apakah ada pelanggaran etik dalam menjalankan profesinya. Jika ada, berikan sanksi yang setimpal. Sedangkan aspek pidana serahkan pada penegak hukum. Jika mereka sudah bekerja sesuai SOP dan etika profesi, maka PP IAI harus melindungi dan memberikan advokasi hukum jika masuk ke ranah hukum.

*Apoteker pengelola dan pemilik apotik/Pemerhati Kebijakan Publik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3  +  6  =