Channel9.id-Jakarta. Penyidik Koneksitas Jaksa Agung Muda Pidana Militer Kejaksaan Agung menetapkan tiga tersangka perkara dugaan tindak pidana proyek pengadaan Satelit Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan periode 2012-2021. “Setelah melalui proses penyidikan sekitar lima bulan, menyampaikan siapa saja yang bertanggungjawab dalam hal pengadaan ataupun penyewaan satelit yang ada di Kementerian Pertahanan,” kata Direktur Penindakan Jampidmil Brigjen TNI Edy Imran, Rabu, 15 Juni 2022.
Tiga tersangka, kata Edy, terdiri atas satu orang TNI dan dua sipil. Mereka adalah Laksamana Muda (Purn) AP, mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan periode Desember 2013 sampai dengan Agustus 2016. Sedangkan dua sipil yakni inisial SCW dan AW, keduanya merupakan Direktur Utama dan Komisaris Utama PT Dini Nusa Kesuma (DNK).
Edy mengatakan penetapan tersangka dilakukan setelah memeriksa 47 orang saksi, terdiri saksi TNI dan purnawirawan berjumlah 18 orang. Kemudian saksi sipil berjumlah 29 orang dan permintaan keterangan ahli berjumlah 2 orang.
Selain itu, tim penyidik juga telah melakukan penggeledahan terhadap dua perusahaan swasta, Kantor PT DNK di kawasan Prapanca Jakarta Selatan dan Panin Tower Lt.18A Kawasan Senayan City Jakarta Pusat. Kemudian satu unit apartemen yang merupakan tempat tinggal dari SW (Direktur Utama PT DNK) serta mengumpulkan barang bukti termasuk barang bukti surat dan barang bukti elektronik (BBE).
Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, penyidik tidak melakukan penahanan terhadap ketiga tersangka karena dianggap kooperatif. Penyidik telah melakukan pencekalan terhadap para tersangka, selama berkas perkara disiapkan untuk segera dilimpahkan ke pengadilan.
Adapun perbuatan tersangka, kata Edy, AP bersama-sama dengan tersangka SCW dan AW melawan hukum merencanakan dan mengadakan kontrak sewa satelit dengan pihak Avanti bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan. “Total kerugian Rp 500,579 miliar yang telah dilakukan audit oleh BPKP,” kata Edy.
Penyidik menjerat tersangka dengan Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Kemudian, Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP;
Proyek ini diduga bermasalah ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika memenuhi permintaan Kemenhan untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat Bujur Timur guna membangun satkomhan. Dugaan pelanggaran dalam proyek satelit Kemhan ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pada Januari lalu.
Dia menjelaskan, pada tanggal 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
Untuk mengisi kekosongan pengelolaan slot orbit 123 derajat BT, kata Mahfud, Kementerian Komunikasi memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT guna membangun satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan).
Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti) pada 6 Desember 2015. Sedangkan persetujuan penggunaan slot orbit 123 derajat BT dari Kominfo baru diterbitkan 29 Januari 2016.
Pada 25 Juni 2018, Kemhan mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT kepada Kominfo. Pada tanggal 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 Derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK). Namun PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan satkomhan.
Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.
Untuk membangun satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016. Anggaran pada saat itu belum tersedia dan baru diadakan pada 2016, namun dilakukan self blocking oleh Kemhan.
Kemudian, Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani. Pada tanggal 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar.
Pemerintah juga baru saja menerima putusan dari Arbitrase Singapura terkait gugatan Navayo. Putusan itu menyatakan bahwa pemerintah diharuskan membayar US$ 20,9 juta.