Channel9.id-Jakarta. Pemerintah melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berupaya untuk memanfaatkan teknologi pengolah limbah dan teknologi daur ulang untuk memenuhi peningkatan kebutuhan pengolahan limbah.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, dalam keterangan pers secara virtual usai mengikuti rapat terbatas tentang pengelolaan limbah berbahan bahaya dan beracun (B3) medis Covid-19 yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo melalui konferensi video, Rabu (28/07).
“Ada beberapa teknologi yang sudah proven yang dikembangkan oleh teman-teman kita untuk membantu peningkatan jumlah kapasitas pengolahan limbah ini secara signifikan. Khususnya adalah teknologi yang bisa dipakai untuk pengolahan limbah di skala yang lebih kecil dan sifatnya mobile,” ujar Laksana.
Menurutnya, penggunaan teknologi tersebut diharapkan bisa menjangkau daerah-daerah yang memiliki penduduk relatif sedikit dengan skala limbah yang juga tidak banyak. Selain itu, teknologi itu juga diyakini lebih hemat dibandingkan membuat insinerator terpusat dalam skala besar.
“Kalau kita harus membangun insinerator besar itu tentu akan jauh lebih mahal dan juga menimbulkan masalah terkait dengan pengumpulan, karena pengumpulan dari limbah ke insinerator yang terpusat juga menimbulkan biaya tersendiri,” imbuh Laksana.
Ia pun mengusulkan teknologi daur ulang limbah medis yang berpotensi memunculkan nilai tambah secara ekonomi. Laksana meyakini, hal itu akan meningkatkan kepatuhan fasilitas kesehatan yang menghasilkan limbah karena ada insentif finansial dari bisnis daur ulang tersebut.
“Tadi kami menyampaikan contoh itu adalah alat penghancur jarum suntik yang bisa menghasilkan residu berupa stainless steel murni, dan juga daur ulang untuk APD (alat pelindung diri) dan masker yang bahannya adalah polypropylene, sehingga kita bisa peroleh propylene murni (PP), jenis plastik propylene murni yang nilai ekonominya juga cukup tinggi,” jelasnya.
Baca juga: Kelola Limbah Covid-19, Pemerintah Siapkan Dana Rp1,3 Triliun
Laksana mengungkapkan, saat ini sarana pengelolaan limbah medis tidak sebanding dengan penambahan volume limbah medis yang semakin meningkat. Misalnya, saat ini baru 4,1 persen dari seluruh rumah sakit di Indonesia yang memiliki fasilitas insinerator yang berizin.
“Kemudian juga di seluruh indonesia baru ada 20 pelaku usaha pengelolaan limbah dan yang terpenting adalah—seperti yang disampaikan Ibu Menteri LHK—hampir semuanya masih terpusat di Pulau Jawa. Jadi distribusinya belum merata,” jelasnya.
Laksana pun berharap inovasi teknologi ini dapat meningkatkan motivasi untuk mengumpulkan dan mengolah limbah, meningkatkan kepatuhan, dan menciptakan potensi bisnis baru bagi para pelaku usaha skala kecil.