Nasional

Kemendagri Bahas Kenaikan Biaya Penyelenggaraan Pilkada 2020

Channel9.id-Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri (BPP Kemendagri), menggelar diskusi terkait persiapan Pilkada di tengah pandemi Covid-19. Acara dengan tajuk “Kesiapan Pelaksanaan Pilkada 2020”, digelar secara virtual pada Rabu (10/06).

Wacana yang mencuat perihal penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi, adalah soal naiknya biaya penyelenggaraan. Sebabnya, dengan penerapan protokol kesehatan, banyak fasilitas yang perlu dipenuhi oleh penyelanggara.

Plt. Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Ardian Noervianto menuturkan, biaya penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi secara prinsip telah diatur dalam UU No10 Tahun 2016. Menurutnya, peraturan ini mengatur biaya pelaksanaan pilkada yang dibebankan pada  anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Meski demikian, peraturan ini juga memunyai klausul, yang menyebutkan biaya pilkada dapat dibantu oleh anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Karenanya, Ardian ingin mencermati kondisi keuangan masing-masing daerah dalam menyiapkan Pilkada 2020.

“Bagi teman-teman daerah, pemerintah daerah, KPU daerah, Bawaslu daerah, dan pihak pengamanan untuk saling berkoordinasi mencermati berbagai dinamika, khususnya terkait pandemi Covid-19 yang terjadi di setiap daerah,” tuturnya.

Mendagri, kata Ardian, telah mengarahkan agar kepala daerah yang menggelar Pilkada, dapat mengimbau KPU di daerahnya, untuk mengoptimalisasi anggaran yang tercantum dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).

“Upaya ini untuk mendata anggaran yang bisa direalokasi untuk mengongkosi kebutuhan Pilkada,”imbuhnya.

Ardian berharap, hasil koordinasi penyelenggara di tingkat daerah dapat segera dilaporkan kepada Kemendagri. Hal ini penting untuk menghitung kapasitas fiskal masing-masing daerah. Supaya, lanjutnya, pemerintah pusat dapat mengambil kebijakan sesuai dengan kondisi tersebut.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Persatuan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengulas tingginya biaya politik terutama yang dikeluarkan oleh peserta Pemilu. Menurutnya, asumsi itu bisa menjadi mitos atau fakta.

Berdasarkan dokumen formal seperti Laporan Harta Penyelenggara Negara (LHKPN), Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK), serta Laporan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), menunjukkan tingginya biaya tidak terbukti.

Pada situasi ini, kata Anggraini, tingginya ongkos tersebut dapat dikatakan sebuah mitos. Namun, lanjutnya, hal ini bisa menjadi fakta, karena sudah menjadi pengetahuan umum, dan tak bisa dibantah.

“Makanya kalau dalam hukum, fakta yang sudah diketahui secara umum oleh masyarakat, tidak perlu dibuktikan lagi,” ujarnya.

Lebih lanjut Anggraini menyampaikan, secara regulasi negara sebenarnya sudah mengantisipasi tingginya biaya Pemilu bagi peserta, seperti memfasilitasi kampanye, melarang adanya mahar politik, dan sebagainya. Namun dalam praktiknya, upaya tersebut dinilai belum banyak memberikan perubahan.

“Norma hukum kita masih jauh tertinggal dengan praktik yang terjadi di lapangan,” ujarnya.

Anggraini menyebutkan, biaya politik tinggi menjadi tantangan di tengah pandemi. Lemahnya kondisi ekonomi mayarakat, rawan dimanfaatkan oleh kandidat. Untuk itu, ia menyarankan agar literasi kepada pemilih ihwal politik bersih harus dilakukan secara terus menerus.

Di sisi lain, bakal ada komponen belanja baru yang dikeluarkan kandidat, seperti alat pelindung diri (APD) bagi tim suksesnya saat menggalang suara. Meski bisa diantisipasi oleh kampanye digital, tapi menurut kajiannya, pemilih lebih menyukai model kampanye secara langsung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2  +  2  =