Channel9.id – Jakarta. Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berhak memberikan gelar doktor kehormatan kepada seseorang yang dianggap berjasa luar biasa bagi kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, kemanusiaan, dan peradaban.
Adapun pemberian gelar kehormatan tersebut diatur dengan Peraturan Rektor setelah mendapat pertimbangan senat. Ketentuan itu tertuang dalam Permenristekdikti Nomor 42 Tahun 2018 tentang Statuta UNJ.
Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Madya Biro Hukum Kemendikbudristek Polaris Siregar menegaskan, Peraturan Rektor itu menjadi hukum positif bagi UNJ untuk memberikan gelar doktor kehormatan kepada seseorang.
“Diatur dengan Peraturan Rektor setelah mendapat pertimbangan senat. Kalau sudah ada, berarti itu lah hukum positinya bagi UNJ,” kata Polaris dalam Sarasehan UNJ: Bedah Regulasi Pemberian Gelar Doktor Kehormatan di Kampus A UNJ Rawamangun, Jakarta, Kamis 21 Oktober 2021.
Baca juga: Kemendikbudristek: Pemberian Gelar Doktor Kehormatan Hak Pimpinan Perguruan Tinggi
Penegasan itu disampaikan untuk menanggapi tudingan Aliansi Dosen UNJ terkait rencana pemberian gelar doktor honoris causa kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir.
Aliansi Dosen menuduh pemberian gelar untuk kedua sosok itu bertentangan dengan UU Pendidikan Tinggi dan pedoman pemberian gelar doktor kehormatan.
Polaris menjelaskan, UNJ memiliki tiga dasar hukum untuk memberikan gelar doktor kehormatan kepada seseorang.
Ketiganya yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Permenristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan, dan Permenristekdikti Nomor 42 tahun 2018 tentang Statuta UNJ.
“Tiga ini menjadi hukum yang perlu dilihat,” tegas Polaris.
Polaris menjelaskan bahwa dalam UU 12 Tahun 2012 di pasal 27, perguruan tinggi berhak memberikan gelar doktor kehormatan kepada seseorang yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi atau jasa dalam bidang kemanusiaan.
Polaris melanjutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai gelar doktor kehormatan itu diatur dalam Peraturan Menteri.
Di permenristekdikti Nomor 65 tahun 2016 Pasal 1 dijelaskan bahwa perguruan tinggi berhak memberikan gelar doktor kehormatan apabila memiliki program doktor dengan peringkat A atau unggul.
Kemudian di Pasal 2, program doktor sebagai syarat pemberian gelar itu, harus terkait dengan jasa atau karya calon penerima gelar doktor kehormatan itu.
“Pada ayat 3 juga disebutkan tata cara dan syarat pemberian doktor diatur oleh masing-masing perguruan tinggi. Artinya, aturan memberikan otonomi kepada kampus untuk mengatur syarat-syarat pemberian gelar doktor honoris causa,” kata Polaris.
Sedangkan, di Statuta UNJ pasal 22 ayat 1 menyatakan, UNJ dapat memberi gelar kehormatan pada seseorang yang dianggap berjasa luar biasa.
Berbeda dengan UU 12 tahun 2012 yang menyebut kata layak, UNJ menggunakan kata berjasa luar biasa bagi kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, kemanusiaan, dan peradaban.
“Di ayat 2 UNJ juga bisa mencabut dan membatalkan. Ini juga tepat yaa. Kalau bisa memberikan seharusnya juga bisa membatalkan,” ujar Polaris.
Kemudian di ayat 3, gelar doktor kehormatan diatur dalam Peraturan Rektor setelah mendapatkan pertimbangan senat. Menurut Polaris, dengan adanya Peraturan Rektor ini, UNJ seyogyanya sudah memiliki aturan yang tertib untuk memberikan gelar doktor kehormatan.
“Maka sudah menjadi tertib, bagaimana tata cara dan bagaimana syarat-syarat untuk memenuhi dan memperoleh gelar kehormatan di UNJ,” kata Polaris.
Oleh karena itu, menurut Polaris, perdebatan tentang layak atau tidak layaknya seseorang diberikan gelar doktor kehormatan seharusnya dilakukan di rapat senat sesuai peraturan yang berlaku. Dia pun menyayangkan, sejumlah pihak yang justru berkoar-koar di media nasional.
“Perguruan Tinggi berhak karena otonominya. Jadi pertimbangan orang layak atau orang tidak layak itu debatnya di senat sesuai dengan peraturannya. Ada forumnya. Kalau sudah diputuskan layak, itu lah aturannya,” kata Polaris.
Polaris menyatakan, aturan itu lah yang berlaku dalam memperdebatkan seseorang yang akan diberikan gelar doktor kehormatan. Aturan itu juga sejalan dengan marwah perguruan tinggi.
“Itu lah aturan main yang lebih sesuai dengan marwah perguruan tinggi. Marwah perguruan tinggi itu kan ada organnya, sudah diatur, senat di sini , rektorat di sini, gitu yaa. Kalau sudah diikuti prosedurnya, saya kira tidak ada lagi yang berhak menilainya,” ujarnya.
Dia pun mengapresiasi Rektor UNJ Komarudin karena memfasilitas sejumlah pihak yang berbeda pandangan untuk menyampaikan aspirasinya. Menurut Polaris, tanpa kerendahan hati Rektor UNJ, forum sarasehan tidak akan pernah ada.
“Makanya kalian beruntung, pak rektor ini sangat rendah hati untuk membuat forum ini. Mudah mudahan menjadi pembelajaran bagi sivitas akademi UNJ untuk ke depanya,” pungkasnya.
HY