Oleh: Iman Zanatul Haeri
Channel9.id – Jakarta. Beberapa hari ini saya mencoba untuk tidak berkomentar setelah viral kerajaan Anglingdarma di kampung halaman. Masalah utamanya karena yang disebut Baginda Jamaludin Firdaus merupakan orang yang dekat dengan keluarga saya.
Sejak kecil, kami biasa menyebutnya ‘Mama’ Jamaludin. Memang belakangan ‘mama Jamaludin’ gencar melakukan pembangunan rumah bagi orang miskin, terjadi pergeseran penyebutan ‘baginda.’ Saya sendiri sempat kaget. Tapi itu cuma penyebutan saja, pada praktiknya ya…tidak ada yang berbeda bagi kami.
Bahkan untuk memberitahu secara langsung wafatnya bapak dan kemudian menyusul ibu, saya datang ke rumahnya untuk memberitahu tentang agenda acara tujuhnya dan sampai empat puluhnya.
Bagi saya pribadi, saya punya pengalaman personal. Sempat beberapa minggu ‘mondok’ disana. Saya kira lokasi ‘Angling Dharma’ sejak awal adalah pondok pesantren. Disana selama waktu yang singkat saya memandikan kuda milik, yang sekarang disebut ‘baginda.’
Agaknya, tentu berbeda dengan Sunda Empire dan kerajaan-kerajaan lain yang bermotifkan penipuan. Selama ini hubungan orang tua saya dengan ‘baginda (kita sepakati penyebutan ini agar sesuai dengan label publik) selayaknya hubungan kyai dan masyarakat biasa. Pada level yang paling mendesak hanya sekedar meminta doa alakadar.
Soal apakah itu kerajaan dan lain sebagainya, saya kira hanya perlu dilihat dari sisi hukum positif. Toh tidak ada penipuan dan motif kriminal lainnya. Mengaku raja, meminta iuran atau mengedarkan uang. Tidak kan?
Buktinya, polisi saja tidak bisa menemukan unsur-unsur kriminal. Namun ketika Polisi terlibat dalam hal seperti ini, kita menjadi prihatin; mengapa orang yang suka menolong justru harus begitu patut dicurigai sedemikian rupa?
Apa yang dilakukan? Yang dilakukan mama Jamaludin adalah justru kewajiban pejabat daerah yang seharusnya mensejahterakan masyarakatnya. Yakni menolong orang miskin. Saya sudah jauh-jauh hari membicarakan ini, ‘Baginda ‘mama’ Jamaludin menyatakan ia hanya punya niat saja untuk membantu, rezeki datang begitu saja.
Jika simbol-simbol kerajaan begitu mengganggu, berarti anda tidak tahu apa-apa. Saya heran, di wilayah Mandalawangi dan sekitarnya, ‘Baginda Anglingdharma’ sudah terkenal. Selama ini tidak pernah berurusan dengan pihak berwajib. Ia, katakanlah, hanya kyai nyentrik.
Jika datang ke rumah, saya sering mendengarkan cerita-ceritanya tentang hal-hal gaib dan tidak masuk akal. Tapi itu adalah hiburan bagi keluarga kami. Selama puluhan tahun mengenal ‘Baginda AnglingDharma’ , tidak pernah ada ritual-ritual khusus, iuran macam-macam atau kewajiban untuk registrasi dan lainnya.
Jangan Lupa
Oleh sebab itu saya justru heran, bisa-bisanya Bupati Pandeglang tidak mengenal mama Jamaludin. Pengacara kondang di Banten, alumni Kontras, Raden Elang Mulyana yang tinggalnya di Menes saja, mengetahui dan sering mampir ke rumah ‘Anglingdharma.’
Nah pejabat yang kagetan, tidak mengetahui keterkenalan Mama Jamaludin Baginda kerajaan Anglingdharma, justru patut dipertanyakan kedekatannya dengan masyarakat.
Artinya rumah ‘Anglingdharma’ adalah situs kebudayaan lokal, Tidak mengganggu bahkan membantu rakyat Miskin. Makanya, komentar ‘halu’ dari bupati kepada Anglingdarma dan pengikutnya, merupakan ekspresi kepanikan, karena dengan demikian publik mempertanyakan, dimana fungsi Pemerintah daerah dalam mengentaskan kemiskinan?
Justu kerajaan sesungguhnya adalah Bupati Pandeglang itu sendiri. Anda sebaiknya googling, siapa suaminya, siapa anaknya dan apa yang mereka lakukan. Itulah dinasti yang sesungguhnya.
Puluhan tahun, kota kelahiran kami ini hanya maju di Instagram. Jika melihat instagram bupati dan koneksi media yang terafiliasi dengannya, Pandeglang seolah-olah sedang mengalami kemajuan pesat. Padahal yang hebat cuma editing videonya saja.
Karena setiap saya pulang kampung, jangankan lokasi wisata yang diagung-agungkan, rumah saya sendiri yang jaraknya 200 meter dari kantor bupati jalannya rusak parah dan sudah bertahun-tahun tidak diperbaiki.
Jadi, kasus anglingdharma ini sebaiknya dilihat dalam konteks Saminisme, atau ratu adil. Untungnya sampai hari ini tidak ditemukan terdapat ritual yang menyimpang dari aturan umum. Namun, ini menunjukan bahwa ‘Baginda Anglingdharma’ tidak mengambil keuntungan pribadi.
Penggunaan kata kerajaan boleh jadi bukan merujuk pada sikap nyentriknya, tapi memanggil kesadaran warga Pandeglang bahwa ada yang lebih berbahaya dari kerajaan Anglingdhrama yang tidak pernah melanggar hukum dan selalu membantu orang miskin dengan membangun rumah yang layak untuk mereka.
Anglingdharma bukan kerajaan yang berbahaya, kerajaan yang lebih berbahaya adalah dinasti dalam balut organisasi modern. Menginjeksi demokrasi dengan sistem kekerabatan. Membuat media palsu yang tidak mencerminkan keadaan masyarakat.
Penasaran dengan kondisi masyarakat Pandeglang? Sesekali berwisatalah pada data BPS. Anda akan menemukan lebih banyak alasan mengapa orang lebih percaya kerajaan Anglingdharma daripada kerajaan dinasti berbalut organisasi modern yang memanfaatkan otonomi daerah untuk membangun kerajaan-kerajaan baru.
Penulis adalah Guru Sejarah di Pesantren Luhur Al-Tsaqofah Ciganjur