Opini

Kerugian Konstitusional Warga Negara Akibat Diberlakukannya Presidential Threshold 20%

Oleh:  Abdulrachim K*

Channel9.id-Jakarta. Kerugian Konstitusional atau Legal Standing atau Kedudukan Hukum adalah syarat mutlak bagi seseorang atau sekelompok orang atau sejumlah besar orang bila ingin mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi suatu Undang-Undang (UU) atau Perpres, PP, Kepmen, atau Peraturan2 lainnya yang menyangkut Kebijakan Publik. Kerugian Konstitusional itu artinya si pemohon gugatan tersebut dirugikan oleh berlakunya UU atau Peraturan2 lainnya sehingga ia atau mereka berhak mengajukan gugatan ke MK .

Dengan diberlakukannya UU no 7 tahun 2017 pasal 222 yang menentukan bahwa Calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang mempunyai sedikitnya 20% kursi DPR atau 25% suara sah telah membatasi Capres – Cawapres yang maju dan sekaligus membatasi jumlah dan kapasitas Calon yang dipilih rakyat. Rakyat hanya disodori pilihan yang terbatas jumlahnya , terbatas kualitasnya dan terbatas harapannya. Pembatasan ini sering dikenal sebagai Presidential Threshold (PT).

Baca juga: MK, Threshold, Mahar Politik, dan Korupsi

Padahal ada putra terbaik bangsa yang mempunyai kualitas sangat memenuhi syarat untuk menjadi Presiden namun karena persyaratan Treshold tersebut yang bersangkutan menjadi tertutup kesempatannya untuk mencalonkan diri dan rakyat yang menjadi pemilih dirugikan karena kesempatan memilihnya juga tertutup.

Akibat adanya PT ini, maka rakyat secara konstitusional dirugikan bila dikaitkan dengan tujuan-tujuan  kemerdekaan yang tercantum dalam UUD 45. Terutama didalam Mukadimah seperti menuju masyarakat adil dan makmur dan memajukan kesejahteraan umum. Presiden yang terpilih menjadi tidak maksimal kompetensinya, kemampuannya untuk mengelola masalah2 negara termasuk didalam memilih dan mengangkat para menterinya yang melaksanakan kebijakan-kebijakannya sehingga rakyat dirugikan dalam banyak hal misalnya naiknya harga bahan pokok, kenaikan harga Tarif Dasar Listrik, kenaikan iuran BPJS, harga bbm tidak turun2 walaupun harga internasional anjlok sangat dalam sampai pernah mencapai minus $13/barrel . Semua hal diatas adalah kebutuhan pokok rakyat yang diperlukan dalam kehidupannya sehari-hari.

Selain itu, dengan adanya Presidential Threshold ini juga akan mendorong terjadinya korupsi karena pada umumnya Calon Presiden dan Wakilnya tidak mungkin mempunyai cukup uang untuk membiayai kampanye, kunjungan-kunjungan, biaya media, biaya pertemuan-pertemuan-pertemuan, biaya hotel, biaya operasional dan lain-lain yang jumlahnya sangat besar. Sehingga harus didukung oleh para pemodal dan akhirnya berhutang budi kepada mereka yang nantinya bila berhasil menang, Presiden harus membalas budi dengan memberikan ijin-ijin khusus dan hak-hak istimewa kepada para pemodal itu dan menimbulkan perilaku korupsi yang besar pula. Dalam kasus Pilkada sudah banyak sekali contoh kasusnya yang terbukti seperti tertangkapnya Bupati Kutai Kartanegara, dimana isterinya adalah Ketua DPRD Kabupaten Kukar tersebut dengan perkiraan kerugian negara sebesar  2 triliun rupiah.

Oleh karena itu Presidential Threshold harus dihilangkan alias menjadi nol persen . Walaupun pembuat UU adalah pemerintah dan DPR, namun adalah tanggung jawab Mahkamah Konstitusi untuk membuat PT menjadi nol persen. Karena telah 13 kali gugatan kepada MK dikalahkan oleh MK sehingga akibat-akibatnya yang telah penulis uraikan diatas termasuk beratnya kehidupan ekonomi rakyat dan kemungkinan maraknya korupsi menjadi akibat dari keputusan MK.

Apabila secara teknis memungkinkan, karena semua rakyat Indonesia seperti diuraikan diatas ternyata mempunyai Legal Standing untuk menggugat PT ke MK, maka lebih dari 100 juta rakyat bisa ber-bondong2 mendatangi MK untuk menggugat.

*Analis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  27  =  32