Oleh: Awalil Rizky*
Channel9.id-Jakarta. Besarnya posisi utang pemerintah dan meningkatnya beban peluanasan utang pokok beserta bunga merupakan satu soalan. Bagaimana utang tersebut direncanakan merupakan soalan lain. Satu langkah penting dan mendesak dalam pengelolaan utang pemerintah saat ini adalah dengan memperbaiki rencananya yang terbukti buruk.
Transaksi berutang kini memang dilakukan oleh Pemerintah semua negara. Hanya besarannya yang berbeda. Penyebab utamanya adalah pengeluaran pemerintah yang cenderung terus meningkat, tidak selalu bisa diimbangi oleh sisi penerimaannya. Defisit yang dialami banyak negara pada umumnya dibiayai dengan sumber utang.
Pemerintah Indonesia era Presiden Jokowi mengemukakan beberapa alasan teknis mengapa masih menambah utang. Antara lain disebut soal mengakselerasi pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut dijelaskan adanya kebutuhan masyarakat yang mendesak dan tidak dapat ditunda. Pendapatan Negara belum cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan tersebut sehingga menimbulkan defisit yang harus ditutupi melalui pembiayaan atau utang. Pemerintah yakin bahwa utang tersebut aman karena digunakan untuk belanja produktif.
Penjelasan tentang utang yang dianggap bersifat produktif telah dilakukan oleh pemerintahan era-era sebelumnya. Bahkan, dimulai pada era pemerintahan Soeharto. Masing-masing era hanya berbeda dalam mengemukakan program prioritasnya, serta besaran nilai utang yang dibutuhkan.
Utang pemerintah memang sudah direncanakan dalam berbagai dokumen resmi negara dan dokumen pemerintah. Dijelaskan garis besar kebijakan pengelolaan, disertai target dan proyeksi kisaran nilai utang dan berbagai indikatornya. Termasuk upaya menekan risiko utang dalam berbagai aspeknya. Selalu ada klaim bahwa kebijakan pengelolaan utang dilakukan secara berhati-hati, dan menimbang faktor keberlanjutan fiskal negara.
Rencana utang disebut dalam semua narasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Sebagai contoh, RPJMN 2020-2024 menjelaskan kebijakan fiskalnya secara umum, kemudian dirinci proyeksi defisit anggaran tiap tahun berupa rentang besaran rasio atas Produk Domestik Bruto (PDB). Tersaji pula target rasio utang pemerintah terhadap PDB.
Pandemi covid-19 membuat realisasi pada tahun 2020 meleset jauh dari target RPJMN atas berbagai indikator fiskal. Realisasi defisit mencapat 6,32%, padahal targetnya hanya di kisaran 1,5-1,7%. Rasio utang atas PDB mencapai 39,36%, dari target di kisaran 28,5-29,2%.
Melesetnya realisasi berbagai proyeksi indikator utang pemerintah dalam RPJMN sebenarnya telah terjadi sebelum pandemi. Proyeksi atau target RPJMN 2015-2019 terkait rasio utang selalu tidak tercapai tiap tahunnya. Bahkan makin memburuk atau meleset jauh pada tahun-tahun terakhirnya. Realisasi pada tahun 2019 sebesar 30,23%, padahal target RPJMN pada tahun tersebut adalah sebesar 19,30%.
Perencanaan pengelolaan utang berjangka menengah yang lebih rinci dibanding RPJMN dan memang secara khusus dimaksudkan demikian ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK). Semula kurun waktunya bersesuaian dengan RPJMN, karena memang harus menjadi penjabarannya dalam hal perencanaan utang. Sempat ada KMK tentang strategi pengelolaan utang negara jangka menengah (SPUNJM) tahun 2005-2009 dan SPUNJM tahun 2010-2019.
Perkembangan berikutnya dari SPUNJM tidak lagi seiring dengan RPJMN, baik dalam hal rentang waktu, maupun besaran target indikatornya. Antara lain disebabkan oleh revisi yang dilakukan sebelum berakhirnya waktu SPUNJM. Padahal, RPJMN belum pernah mengalami revisi di pertengahan waktu pelaksanaan.
Pada saat ini yang masih berlaku adalah SPUNJM dalam KMK No.17/KMK.08/2020 yang ditetapkan oleh Sri Mulyani pada tanggal 24 Januari 2020. Ini merupakan revisi dari KMK No.884/KMK.08/2017 yang ditandatangani oleh Sri Mulyani pada tanggal 27 November 2017. Artinya, ada perubahan sebelum selesai realisasinya. Padahal, pemerintahan Jokowi I justeru tidak merevisi SPUNJM tahun Tahun 2014-2017 yang ditetapkan melalui KMK Nomer 113/KMK.08/2014 oleh Chotib Basri pada tanggal 23 Mei 2014.
KMK terkini yang berlaku itu menyatakan bahwa SPNUJM digunakan sebagai panduan untuk mencapai tujuan jangka menengah pengelolaan utang. Memuat tentang 8 hal pokok, seperti: 1. Tujuan pengelolaan utang;2. Prinsip pengelolaan utang; 3. Asumsi-asumsi penyusunan SPUNJM; 4. Kebijakan pengelolaan utang; 5. Komposisi pengadaan utang baru; 6. Target indikator risiko utang; 7. Indikator yang dimonitor; dan 8. Batas maksimal penjaminan.
Realisasi dari berbagai KMK terdahulu cukup banyak yang meleset, bahkan setelah direvisi. Sedangkan KMK terkini dipastikan meleset jauh, dan besar kemungkinan akan segera diubah lagi. Pandemi covid-19 membuat kondisi fiskal dalam kesulitan yang besar, dan salah satunya berupa memburuknya berbagai rasio terkait pengelolaan utang.
KMK juga menyebut indikator yang paling sering dipakai dalam narasi kepada publik hanya sebagai indikator yang dimonitor, bukan sebagai target. Istilah yang sumir dan kurang kuat dalam konteks suatu perencanaan kebijakan. Dikatakan bahwa Rasio utang terhadap PDB kisaran sebesar 30,0% dan rasio pembayaran bunga terhadap PDB maksimal sebesar 1,9% hingga tahun 2024.
Selanjutnya ada perencanaan utang pemerintah secara tahunan yang disampaikan secara umum dalam Nota Keuangan sebagai pengantar sekaligus penjelasan dari RAPBN dan APBN. Lebih dari itu, selama beberapa tahun terakhir dibahas tentang risiko utang secara cukup panjang lebar.
Pokok-pokok rencana utang secara tahunan dalam APBN diterjemahkan secara lebih teknis oleh Kementerian Keuangan terutama dalam dokumen Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang (SPT). Dokumen strategi ini lah yang biasanya mengalami perubahan hingga dua kali selama realisasi tahun anggaran. Bahkan revisi tetap dilakukan dua kali atau ada tiga versi SPT, ketika pada tahun bersangkutan tidak ada APBN Perubahan, seperti tahun 2017 dan 2019.
Nota keuangan dan APBN sejauh ini tidak menyebut secara jelas nilai utang yang sebenarnya dibutuhkan selama setahun. Besaran terkait yang disajikan hanya berupa nilai bersih atau neto. Ada nilai pembiayaan utang yang pada dasarnya merupakan nilai bersih utang yang dibutuhkan, termasuk untuk melunasi pokok utang.
Kebutuhan berutang baru yang telah memperhitungkan pelunasan pokok utang lama biasanya disebut dalam SPT. Namun, seperti telah disinggung di atas, SPT mengalami satu atau dua kali revisi tiap tahun. Tidak hanya karena adanya pandemi seperti pada tahun 2020.
SPT tahun 2020 revisi II merinci rencana pembiayaan APBN 2020 perubahan sesuai Perpres 72/2020. Disajikan tentang pembiayaan defisit sebesar Rp1.039,2 triliun, pembiayaan nonutang sebesar Rp181,2 triliun, dan utang jatuh tempo sebesar Rp424,8 triliun. Dengan demikian, total nilai pembiayaan yang dibutuhkan sebesar Rp1.645,3 triliun.
Baca juga: Misteri Angka Rasio Utang Pemerintah Atas PDB
Perlu diketahui, kebutuhan pembiayaan dimaksud adalah yang akan dicari melalui penarikan utang baru. Penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) telah diperhitungkan dalam nilai pembiayaan nonutang. Rencana penarikan utang baru melalui penarikan pinjaman sebesar Rp148 triliun, dan melalui penerbitan SBN sebesar Rp1.497,3 triliun.
Pada tahun 2021, APBN merencanakan defisit sebesar Rp1.006,38 triliun. Sedangkan pembiayaan utang, yang telah memperhitungkan pengeluaran pembiayaan sebagai tambahan kebutuhan berutang, sebesar Rp1.177,35 triliun.
Meneriknya, dokumen Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang (SPT) tahun 2021 dari DJPPR Kemenkeu kali ini tidak menyebut nilai pembiayaan yang dibutuhkan. Hanya menyebut kebutuhan pembiayaan adalah nilai defisit anggaran ditambah beberapa hal lain. Salah satunya adalah utang jatuh tempo. Tidak disebutkan pula tentang berapa kebutuhan penarikan pinjaman baru serta nilai penerbitan SBN bruto.
Dilihat dari satu sisi, hal ini memberi keleluasaan Kementerian Keuangan untuk melakukan beberapa strategi teknis terkait portofolio utang. Diantaranya dengan melakukan pelunasan SBN sebelum waktu jatuh temponya (buyback). Biasanya dikemukakan alasan pertimbangan perbaikan syarat dan struktur SBN yang dianggap lebih menguntungkan.
Akan tetapi, hal itu berdampak pengawasan dan kontrol DPR yang menjadi lebih kompleks. Publik pun akan lebih sulit memahami dinamika pengelolaan utang pemerintah.
Pemakaian istilah pembiayaan neto dan terutama SBN neto saat ini dapat menyamarkan tingkat risiko utang yang sedang dihadapi. Ketika APBN 2021 menyebut SBN neto sebesar Rp1.207,27 triliun, tidak disebutkan berapa rencana nilai penerbitan SBN secara bruto. Biasanya disebut dalam SPT, namun tidak untuk kali ini. Padahal, nilai SBN bruto mencerminkan risiko yang perlu diwaspadai.
Secara prakiraan, dengan memperhitungkan SBN yang jatuh tempo dan kisaran buyback, maka SBN bruto akan di kisaran Rp1.600 sampai dengan Rp1.700 triliun. Kesepakatan tentang SBN yang bisa dibeli oleh Bank Indonesia menyebut batas maksimal sebesar 25% nya. Dengan demikian, pasar masih harus menyerap di kisaran Rp1.250 triliun.
Target penyerapan pasar tersebut jauh melampaui serapan tahun 2020 dan tahun-tahun sebelumnya. Dan jika dihitung persentase kenaikan serapan yang diharapkan pun, berlipat dari rata-rata selama ini. Penulis memprakirakan akan ada kesepakatan baru nantinya antara Pemerintah dan Bank Indonesia yang memungkinkan porsi pembeliannya menjadi lebih besar. Dapat pula dengan cara, BI lebih agresif di pasar sekunder untuk membeli SBN, karena yang diatur maksimal hanya di pasar perdana.
Penulis mengakui bahwa berbagai pilihan kebijakan tentang utang saat ini memang tidak mudah. Ada kelebihan dan kelemahan tiap strategi. Hanya saja, perencanaan yang baik dan konsisten sangat perlu diisyaratkan oleh otoritas. Bukan hanya publik yang membutuhkannya, pasar pun akan lebih dapat diharapkan bereaksi secara positif dan terukur.
*Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri