Ekbis Opini

Misteri Angka Rasio Utang Pemerintah Atas PDB

Oleh: Awalil Rizky*

Channel9.id-Jakarta. Utang Pemerintah telah mencapai Rp5.877,71 triliun pada akhir Oktober 2020. Berdasar perhitungan atas pos pembiayaan utang pada Perpres No.72/2020, maka masih akan bertambah sekitar Rp250 triliun lagi hingga akhir tahun. Posisinya diprakirakan di kisaran Rp6.125 triliun.

Posisi utang dimungkinkan menjadi lebih besar dari itu, jika pendapatan negara tidak sesuai dengan harapan, yang melebarkan defisit APBN melampaui rencananya. Sedangkan belanja dan pengeluaran pembiayaan tetap digenjot dengan alasan pemulihan ekonomi. Tambahan pembiayaan utang berpeluang menjadi lebih besar dari rencananya.

Lonjakan utang pemerintah pada tahun 2020 harus diakui terutama sebagai dampak pandemi covid-19 atas APBN. Posisi utang Pemerintah memang tiap tahun selama ini cenderung meningkat, namun tahun 2020 meningkat secara luar biasa. Belanja dan pengeluaran pemerintah terpaksa bertambah lebih banyak dari rencana sebelumnya. Padahal, pendapatan justru dipastikan menurun.

Baca juga: Misteri Nilai Aset Pemerintah yang Melonjak 

Sebelum pandemi, Pemerintah sering menjelaskan tentang kondisi aman utangnya berdasar porsi atau rasio dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam khasanah kajian akademis, rasio serupa itu memang menjadi salah satu indikator analisis, terutama dalam kaitannya dengan risiko. Undang-undang keuangan negara juga memberi batas rasio yang diperbolehkan, yaitu sebesar 60%. Batas ini sering diklaim Pemerintah sebagai batas aman.

Rasio utang diakui oleh pemerintah sebagai telah mencapai 37,84% pada akhir Oktober 2020. Pemerintah sendiri memang telah memprakirakan rasionya di kisaran 38% pada akhir tahun nanti. Meningkat drastis, yaitu sekitar 7,8% dari rasio akhir tahun 2019 yang masih sebesar 30,23%. Selama periode tahun 2016-2019, rasio utang memang masih relatif terjaga di kisaran 30%.

Nota Keuangan dan APBN tahun 2021 tidak menyebut target besaran rasio utang yang definitif pada tahun 2021. Hanya disebutkan bahwa rasio akan dijaga dalam batas aman. Adapun yang dinyatakan secara eksplisit hanya berupa kisaran, yaitu rasio utang hingga akhir 2024 sebesar range 38-43%.

Perhatikan, yang dinyatakan adalah rasio utang hingga akhir 2024, bukan khusus untuk tahun 2021.

Sementara itu, proyeksi WEO edisi Juni 2020 dari IMF tentang rasio utang pemerintah Indonesia pada tahun 2020 adalah sebesar 37,7%. Diproyeksikan meningkat menjadi 40,3% pada tahun 2021.

Penulis menilai pemerintah sendiri sebenarnya tidak memiliki keyakinan yang cukup tentang berapa rasio utang tahun 2021. Bahkan, kemungkinan untuk tahun 2020 yang akan segera berakhir pun, prakiraan Pemerintah tampaknya akan meleset.

Sebenarnya besaran posisi utang akhir tahun 2020 sudah hampir dapat dipastikan, dilihat dari posisi hingga akhir Oktober dan sisa pembiayaan utang yang akan direalisasikan. Prakiraan posisi akhir tahun 2021 pun telah diperhitungkan dengan besaran pos pembiayaan utang pada APBN 2021. Akan tetapi, nilai PDB nominal tahun 2020 masih cukup lebarnya kisaran kemungkinannya. Apalagi nilai PDB tahun 2021 nanti.

Perlu dimengerti bahwa rasio utang dan rasio defisit yang dinyatakan dalam dokumen seperti Nota Keuangan dan APBN untuk tahun 2020 dan tahun 2021 sepenuhnya bersifat asumsi.

Sebagai contoh, defisit sebesar Rp1.039,22 triliun dalam Perpres No.72/2020 disebut sebagai 6,34% atas PDB. Artinya PDB nominal atau atas dasar harga berlaku tahun 2020 diasumsikan sebesar Rp16.391,44 triliun.

Asumsi nilai PDB demikian nyaris mustahil akan dicapai. Nilainya selama 3 triwulan tahun 2020 hanya sebesar Rp 11.505,12 triliun. Dibutuhkan capaian sebesar Rp4.886,32 triliun pada triwulan IV agar asumsi tersebut terpenuhi. Sebagai perbandingan, nilai PDB triwulan IV tahun 2019 hanya sebesar Rp4.018,84 triliun. Padahal, nilai PDB selama 3 triwulan tahun 2019 justru lebih besar dari tahun 2020, mencapai Rp11.629,27 triliun.

Seandainya memang telah terjadi pemulihan ekonomi yang sangat signifikan pada triwulan IV 2020, maka PDB triwulan ini bisa mencapai Rp4.250 triliun. Artinya PDB nominal tahun 2020 hanya akan sebesar Rp15.755 triliun. Penulis sendiri beranggapan akan sedikit di bawah itu.

Untuk menghitung rasio utang, maka perlu diprakirakan posisi utang pada akhir tahun 2020 nanti. Sebagaimana disampaikan di atas, posisi utang pada akhir Oktober telah mencapai Rp5.878 triliun. Berdasar rencana pembiayaan utang pada Perpres No.72/2020 dan realisasi APBN hingga akhir Oktober, maka posisi utang akan di kisaran Rp6.150 triliun. Itu pun dengan asumsi, kurs rupiah masih terjaga pada tingkat setara akhir Oktober.

Dengan demikian, rasio utang Pemerintah pada akhir tahun 2020 sebenarnya akan mencapai 39%. Lebih tinggi dari proyeksi WEO Juni 2020 dan prakiraan Pemerintah dalam Nota Keuangan dan APBN 2021.

Penulis merasa perlu mengingatkan pembaca agar tidak terburu-buru memastikan soalan rasio ini. Ada angka-angka yang bersifat sementara tentang posisi utang akhir tahun dan dengan nilai PDB yang sebenarnya asumsi. Posisi utang pemerintah yang sebenarnya mesti diambil dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang telah diaudit oleh BPK, yang biasanya baru diketahui pada akhir Mei. Sedangkan nilai PDB biasanya diumumkan oleh BPS pada awal Februari.

Sebagai contoh, APBN Kita edisi Januari 2020 dan berbagai keterangan Pemerintah pada awal tahun lalu menyebut posisi utang pemerintah akhir tahun 2019 sebesar Rp4.778 triliun dengan rasio sebesar 29,8%. Memang disebut sebagai angka sementara, namun besaran itu beredar di media dan banyak diskusi akademis selama berbulan-bulan.

Nah, PDB dalam rasio tersebut sebenarnya masih diasumsikan sebesar Rp16.034 triliun. Sekitar sebulan kemudian, BPS mengumumkan bahwa PDB nominal hanya Rp15.834 triliun. Dan posisi utang setelah diaudit BPK sedikit bertambah menjadi Rp4.787 triliun. Rasionya pun melesat menjadi 30,23%.

Perlu pula diperhatikan bahwa APBN Kita edisi Nopember 2020 yang menyajikan data posisi utang pada akhir Oktober sebesar Rp5.878 triliun di atas, mengatakan rasionya atas PDB sebesar 37,84%. Artinya PDB telah diasumsikan sebesar Rp15.534 triliun. Sangat jauh di bawah asumsi dalam Perpres No.72/2020 yang sebesar Rp16.391 triliun.

Tentu dapat dijelaskan bahwa PDB nominal yang dimaksud adalah yang telah direalisasi, berarti setahunnya mulai dari triwulan IV 2019 sampai dengan triwulan III 2020. Nilainya memang sebesar Rp15.524 triliun.

Bagaimana dengan prakiraan tahun 2021?

APBN 2021 yang merencanakan defisit sebesar Rp1.006,38 triliun dinyatakan sebagai 5,70% atas PDB. Artinya PDB diasumsikan akan sebesar Rp17.655 triliun. Asumsi yang sangat tidak realistis jika ternyata PDB tahun 2019 hanya di kisaran Rp15.755 triliun. Dibutuhkan pertumbuhan ekonomi hampir 10% untuk mencapainya. Kecuali inflasi meningkat mendekati 2 digit, terutama inflasi yang dihadapi produsen sebagai basis perhitungan PDB nominal.

Jika Pemerintah dan Bank Indonesia masih berhasil mengendalikan inflasi pada tahun 2021, maka PDB nominal yang realistis adalah di kisaran Rp17.000 triliun.

Sedangkan posisi utang pemerintah akhir tahun 2021 dapat diprakirakan dari rencana pembiayaan utang dalam APBN. Pembiayaan utang merupakan rencana penambahan utang karena pengelolaan APBN, yaitu sebesar Rp1.177,35 triliun.

Seandainya kurs rupiah tetap terjaga stabil sampai dengan akhir tahun 2021, sehingga faktor ini tidak menambah posisi utang secara berarti, maka posisi utang akan di kisaran Rp7.327 triliun. Hasil dari penambahan prakiraan posisi akhir tahun 2020 (Rp6.150 triliun) dengan rencana pembiayaan utang tadi.

Nah, rasionya atas PDB pun akan mencapai 43% pada akhir tahun 2021.

Pemerintah tidak salah dengan menyebut rasio utangnya akan berada pada range 38-43% hingga tahun 2024. Tetapi mengapa menyebut tahun 2024, bukan tahun 2021 telah sangat mungkin mencapainya. Dan merupakan perjuangan mengelola fiskal yang amat berat jika ingin rasio itu bertahan hingga tahun 2024.

Penulis hanya berharap, Pemerintah lebih terbuka dan fair menjelaskan soalan semacam ini. Utang Pemerintah merupakan urusan seluruh komponen bangsa. Semua berhak mengetahui dan mengerti secara lebih baik akan beban fiskal di masa mendatang.

*Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

37  +    =  40