Oleh: Riyadhusholihah*
Channel9.id-Jakarta. Jelang peringatan Hari Perempuan Internasional, pada 8 Maret 2025, dunia kembali diingatkan soal kesenjangan gender yang masih nyata di bidang teknologi. Menurut data International Labour Organization (ILO) dan OECD, hanya 34 % perempuan yang bekerja di bidang teknologi di seluruh dunia. Bahkan di negara-negara G20, porsinya hanya 10% hingga 25%. Indonesia cuma memiliki 22% pekerja perempuan di bidang teknologi (Boston Consulting Group/BCG, 2020).
Ketidaksetaraan gender di sektor teknologi juga terlihat dari representasi perempuan di posisi kepemimpinan. Hanya 10% hingga 15% manajemen puncak perusahaan teknologi yang dipegang perempuan. Itupun masih diwarnai kesenjangan upah yang signifikan. World Economic Forum menunjukkan, perempuan di bidang teknologi rata-rata menerima gaji 20% lebih rendah dibandingkan rekan laki-laki mereka, untuk pekerjaan dengan tanggung jawab yang sama.
Kesenjangan gender di bidang teknologi tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada inovasi dan perkembangan sektor teknologi itu sendiri. BCG menunjukkan, keragaman gender di tempat kerja dapat meningkatkan kreativitas, inovasi, dan kinerja perusahaan. Perusahaan dengan tim lebih beragam memiliki pendapatan dari inovasi senilai 19% lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang kurang beragam.
Kesetaraan gender jelas menunjang kemajuan teknologi. Sebaliknya, teknologi juga bisa mengurangi kesenjangan produktivitas berdasarkan gender. Laporan Bank Dunia (2023) menekankan bahwa akses setara terhadap teknologi dapat meningkatkan produktivitas perempuan, terutama di sektor informal. Namun, akses ini harus disertai dengan pelatihan dan dukungan yang memadai agar perempuan dapat memanfaatkan teknologi secara optimal.
Beberapa langkah lalu diambil untuk meningkatkan partisipasi perempuan di sektor teknologi. Program beasiswa khusus untuk perempuan di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics), pelatihan keterampilan digital, dan inisiatif mentoring adalah beberapa contoh dari upaya tersebut. PBB dan World Economic Forum terus mendorong negara-negara anggota untuk mengadopsi kebijakan yang mendukung kesetaraan gender di sektor teknologi.
Selama ini, jumlah perempuan yang mengambil jurusan STEM relatif rendah dibandingkan laki-laki. Menurut UNESCO, hanya 35% mahasiswa STEM yang perempuan. Di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK), proporsinya bahkan hanya sekitar 20%. Padahal, lulusan STEM dan TIK memiliki prospek karir lebih cerah dengan gaji cenderung lebih tinggi dibandingkan bidang lain.
Di Indonesia, kesenjangan digital gender juga menjadi tantangan serius. Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebelum menjadi Kementerian Komunikasi Digital, telah menginisiasi program literasi digital yang menyasar perempuan, terutama di pedesaan dan kelompok lanjut usia, guna meningkatkan pemahaman mereka tentang teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Sektor swasta di Indonesia juga telah mengambil langkah untuk mengatasi kesenjangan ini. Program “SheHacks” dari Indosat, misalnya, bertujuan memberdayakan perempuan melalui inovasi teknologi. Huawei mendukung program “Kartini Digital” untuk melatih 100 ribu talenta digital perempuan. Program pelatihan, dukungan untuk startup yang dipimpin perempuan, dan kampanye kesadaran publik juga tercatat sebagai inisiatif yang sedang berjalan.
Upaya-upaya ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mengerek partisipasi perempuan di industri teknologi hingga 25%, pada 2025 ini. Negara Asia Tenggara lain sudah jauh lebih maju. BCG mencatat, Thailand memiliki 42% representasi perempuan di bidang teknologi. Singapura sudah 41%. Malaysia dan Filipina sama-sama 35% dan Vietnam 34%.
Stereotip Menjadi Kendala
Pendidikan jelas memainkan peran kunci. Dengan memberikan beasiswa lebih banyak ke pendidikan STEM, perempuan dapat lebih berpeluang mengembangkan karir di bidang teknologi. Beberapa kampus di Indonesia telah berinisiatif mendorong partisipasi perempuan di bidang STEM. Beasiswa khusus perempuan, pelatihan coding, dan inisiatif mentoring kian digalakkan. Tapi, perempuan yang berijazah STEM juga harus berani bertarung di dunia kerja.
Bukan apa-apa, ILO (2020) pernah mencatat, partisipasi perempuan Indonesia di pendidikan STEM sudah lumayan. Dari semua lulusan STEM, 37% adalah perempuan. Namun, hanya sedikit yang bekerja di bidang ini. Hanya 2 dari 10 perempuan lulusan STEM berkarier professional di industri STEM. Hanya 3 dari 10 perempuan yang menjadi peneliti STEM.
Padahal, di masa depan, sektor teknologi akan terus berkembang dan memainkan peran yang semakin penting. Itu sebabnya, upaya mendorong lebih banyak perempuan berkarir di bidang teknologi adalah langkah strategis yang membuat ekonomi Indonesia lebih produktif.
Kalau cuma menjadi konsumen teknologi, perempuan kita sudah cukup banyak. Survei Indeks Literasi Digital Nasional 2021 menyatakan, perempuan yang menggunakan internet lebih tinggi daripada laki-laki, yaitu 56,6%. Tapi percuma kalau cuma bisa bikin status di medsos.
Jika perempuan lebih produktif di ranah teknologi, dampaknya akan luar biasa. Data BPS (2023) menyatakan, 64,5% dari seluruh pelaku UMKM di Indonesia adalah perempuan. Jumlahnya sekitar 37 juta unit usaha. Jika mereka semua bisa mengoptimalkan manfaat teknologi dalam usahanya, hasilnya tak bisa dianggap enteng.
Partisipasi perempuan di sektor teknologi juga dapat membantu mengatasi kekurangan tenaga kerja terampil di industri tersebut—yang diduga akan terus meningkat. Dengan mendorong lebih banyak perempuan berkarir di bidang ini, kesenjangan keterampilan bisa teratasi dan itu bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, tantangan mencapai kesetaraan gender di bidang teknologi tidak bisa diabaikan. Campos & Scherer (2023) mengungkap, meskipun perempuan kerap memiliki pengetahuan dan keterampilan digital lebih baik dibandingkan laki-laki, mereka masih menghadapi stereotip dan sikap negatif. Hal ini berdampak pada partisipasi dan kepercayaan diri mereka.
Stereotip yang masih kuat, kurangnya panutan perempuan di sektor ini, dan lingkungan kerja yang kurang ramah bagi perempuan merupakan hambatan utama yang perlu diatasi. Perlu pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, institusi pendidikan, dan masyarakat sipil.
Pemerintah dapat memberi insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan perempuan di posisi strategis, memberi pelatihan keterampilan digital, dan mendukung startup yang dipimpin perempuan. Sektor swasta dan organisasi non-pemerintah juga perlu menciptakan lingkungan yang mendukung kesetaraan gender. Bahagijo et al. (2022) menyoroti peran organisasi sipil melalui inisiatif pemberdayaan perempuan dan peningkatan literasi digital sehingga dapat berkontribusi signifikan memangkas stereotip itu.
Kampanye kesadaran publik jelas penting, Toh, kesetaraan gender di bidang digital bukan semata untuk menciptakan keadilan–tetapi juga untuk masa depan yang lebih baik, untuk ekonomi yang berkelanjutan, untuk dunia berkelanjutan.
Baca juga: Kebanyakan Gaya, Mengancam Dunia
*Konsultan Manajemen | Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute