Channel9.id – Jakarta. Masyarakat Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri) tengah menghadapi ancaman relokasi dalam proses pengembangan Rempang Eco City oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama PT Makmur Elok Graha (MEG).
Baru-baru ini, Ketua Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Gerisman Achmad menjalani pemeriksaan oleh Satreskrim Polresta Barelang atas dugaan pengrusakan terumbu karang di Pantai Melayu, Rempang Cate, Batam. Pemeriksaan ini dilakukan di unit V Satreskrim Polresta Barelang pada Kamis (31/8/2023) siang.
Gerisman memenuhi panggilan kepolisian sebagai saksi atas laporan dugaan pengrusakan terumbu karang yang diatur Undang-Undang No 1 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Sekitarnya.
Untuk diketahui, Keramat merupakan wadah berkumpul masyarakat Pulau Rempang dan Pulau Galang untuk menolak segala pembangunan di Pulau Rempang yang tidak menghormati hak atas tanah masyarakat setempat. Masyarakat juga menolak direlokasi akibat pembangunan ini karena harus meninggalkan tanah kelahiran yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Ketua Tim Penasehat Hukum Keramat, Alfons Loemau mempertanyakan alasan panggilan pemeriksaan terhadap Gerisman Achmad. Menurutnya, apa yang dilakukan Gerisman bukanlah suatu pengrusakan terumbu karang.
“Pemanggilan ini kami pertanyakan juga, sebenarnya apa yang dirusak oleh beliau ini. Kalaupun ada beliau ini membongkar batu yang ada disekitar pantai yang ia kelola. Saya kira itu bukanlah suatu pengrusakan, tetapi karena sudah ada pendapat daripada para-para ahli dari ilmu lingkungan jadi beliau dipersangkakan,” ujar Alfons saat istirahat pemeriksaan, dilansir dari SwaraKepri.
Ia menilai, pengrusakan terhadap terumbu karang harus melihat beberapa unsur kimia yang dirusak. Alfons juga mengatakan, pemeriksaan ini justru akan menyulitkan pihaknya saat persidangan.
“Kalau seperti itu yang dipersangkakan, mungkin cerita panjang yang harus kita bedah. Karena, pengrusakan ini kaitannya dengan pencemaran kalau kita lihat di Undang-undang No 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Maka, jika beliau ini melakukan pengrusakan ada unsur-unsur kimia tanah, kimia karang, kimia laut dan sebagainya yang telah dirusak. Hal-hal seperti ini yang kadang-kadang membuat kita bingung termasuk juga pada persidangan nanti. Karena pasti akan ditanyakan oleh Majelis Hakim,” tuturnya.
Alfons mengaku belum mengetahui berapa banyak atau berapa luas area terumbu kurang yang mengalami kerusakan. Sebab dalam pemeriksaan, kata Alfons, hanya ada suatu tanggul tembok yang dibangun oleh Gerisman, itupun untuk menahan abrasi di pantai Melayu.
“Jadi, apakah orang memasang tanggul tembok atau batu miring di wilayah pantai yang dikelolanya untuk menahan abrasi dari air laut itu termasuk kriteria pengrusakan? Terus terang kami sebagai pendamping saat ini juga sedang bertanya-tanya apa yang sebenarnya yang terjadi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menilai pemeriksaan hari ini semata-mata untuk menanyakan identitas masyarakat Rempang yang dipanggil, aktivitas dan kegiatan masyarakat, situasi saat ini di kampung Rempang, sudah berapa lama tinggal di kampung tersebut, dan sebagainya.
“Kalau warga masyarakat ini memang melakukan pengrusakan terumbu karang di pantai tersebut, saya kira saat ini pasti kondisi pantainya bukanlah seperti yang ada sekarang. Selanjutnya, kalau pantai itu telah menjadi tempat wisata, wisata pantai mana yang pengelolanya sengaja untuk merusak pantai, karena orang atau wisatawan yang datang kan untuk melihat keindahan pantai atau keindahan alam apa adanya, kan logikanya seperti itu,” pungkasnya.
Sebagai informasi, konflik di Pulau Rempang ini bermula ketika Menteri Agraria/Kepala Badan Petanahan Nasional (BPN) melalui Surat Keputusan Nomor 9-VIII-1993 memberikan hak kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (kini bernama BP Batam) untuk mengelola seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Rempang, Pulau Galang, dan pulau-pulau lain di sekitarnya dengan beberapa syarat.
Namun, BP Batam rupanya tidak memenuhi syarat yang sudah ditetapkan Menteri Agraria untuk mengelola lokasi tersebut. Salah satu syaratnya berbunyi “apabila di atas areal tanah yang akan diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut masih terdapat bangunan dan tanaman milik rakyat, pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh Penerima Hak, demikian pula pemindahan penduduk ke tempat pemukiman baru, atas dasar musyawarah.” Hingga saat ini, syarat tersebut belum dipenuhi BP Batam.
Ketua Keramat, Gerisman Ahmad menyampaikan bahwa masyarakat Pulau Rempang seyogyanya terbuka dengan pengembangan Rempang Eco City. Tetapi, kata Gerisman, masyarakat menolak direlokasi akibat pembangunan ini karena harus meninggalkan tanah kelahiran yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Hal itu disampaikan Gerisman dalam konferensi pers “Pengusiran dan Intimidasi 6.840 Warga Pulau Rempang oleh BP Batam dan PT Makmur Elok Graha” di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (22/8/2023). Tuntutan tersebut juga tercantum dalam Surat Permohonan Perlindungan Hukum kepada Jokowi yang dilayangkan warga Pulau Rempang melalui surat Nomor 205/PPH/74/VIII/2023 tertanggal 22 Agustus 2023.
“Dari awal kami sudah menyatakan sikap bahwa kami tidak menolak investasi, kami siap menerima kedatangan PT MEG dalam hal membangun Pulau Rempang menjadi Rembang Eco City. Hanya kami minta kami tidak relokasi dan hak-hak kami terpenuhi secara adil,” kata Gerisman dalam kesempatan yang sama.
Ia mengatakan, masyarakat Pulau Rempang meminta perlindungan hukum kepada Presiden Jokowi dengan harapan suara-suara mereka dapat didengarkan. Sebab, kata Gerisman, masyarakat mengalami intimidasi dan kriminalisasi di saat belum adanya sosialisasi dari BP Batam atau pemerintah setempat terkait relokasi.
“Bapak Jokowi yang memang menjadi kebanggaan kami, kami harap ada campur tangan beliau dalam mengantisipasi ini. Karena yang kami takutkan terjadi keributan dan kerusuhan di Rempang,” harap Gerisman.
Ia pun menegaskan masyarakat Pulau Rempang terbuka untuk berdialog bersama pemerintah dan pengembang. Terlebih, lanjutnya, masyarakat pada prinsipnya menerima pengembangan Rembang Eco City tersebut.
“Saya berharap ke depannya harus ada pertemuan tiga sisi, pemerintah, pengembang, masyarakat. Mari kita duduk bersama. Jika ini tidak dilakukan saya yakin persoalan ini tidak akan selesai,” tuturnya.
Baca juga: Terancam Relokasi, Warga Desak Jokowi Hentikan Pembangunan di Pulau Rempang Batam
HT