Channel9.id – Jakarta. Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU KH. Agus Sunyoto meninggal dunia pada Selasa 27 April 2021. Sejarawan dan budayawan itu meninggal di Rumah Sakit Angkatan Laut dr Ramelan Surabaya, Jawa Timur.
KH Agus semasa hidupnya kerap menuliskan artikel-artikel dan menerbitkan sejumlah buku yang berupaya untuk meluruskan sejarah. Salah satu karya KH Agus yang fenomenal yakni buku berjudul ‘Atlas Wali Songo’. Buku ini berupaya untuk mengungkap Wali Songo sebagai fakta sejarah dengan mengungkap bukti-bukti yang komprehensif.
Alasan KH Agus ingin menjelaskan peran Wali Songo sebagai fakta sejarah berawal dari kerisauan dirinya saat membaca buku Ensiklopedia Islam. KH Agus tidak menemukan jejak perjalanan Wali Songo dalam buku yang mengupas perkembangan dan sejarah Islam di Nusantara tersebut. Kerisauan itu yang mendorong KH Agus mulai melakukan penelitan dan mencari sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan jejak perjalanan Wali Songo di Indonesia.
Berbekal biaya seadanya, pada 2009 KH Agus mulai melakukan perjalanan untuk menemukan sumber-sumber sejarah tersebut. Hal pertama yang KH Agus lakukan yakni mendatangi sejumlah makam Wali Songo dan melakukan penelitian secara arkeologis sejumlah prasasti dan situs purbakala, termasuk historiogragi lokal di Jawa, Cirebon, dan Banten.
KH Agus melakukan penelitian tersebut selama 14 bulan. Biaya penelitian pun menggunakan uang pribadi, bahkan perlu meminjam uang hingga Rp36 juta. Kendati demikian, KH Agus tidak mempersoalkan masalah biaya tersebut. Dia hanya berharap, bukunya tersebut bisa meluruskan sejarah bahwa keberadaan Wali Songo benar adanya, bukan hanya dongeng belaka.
Baca juga: Ketua Lesbumi dan Sejarawan KH. Agus Sunyoto Meninggal Dunia
Atas dedikasi KH Agus, buku Atlas Wali Songo mendapat penghargaan ‘Buku Terbaik Nonfiksi’ pada 2014 versi Islamic Book Fair. Penghargaan diberikan pada Sabtu 1 Maret 2014 di Istora Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta Pusat.
Selain buku Atlas Wali Songo yang mencoba meluruskan sejarah, KH Agus juga menerbitkan buku berjudul ‘Fatwa dan Resolusi Jihad, Sejarah Perjuangan Rakyat Semesta di Surabaya 10 November 1945. Buku tersebut berupaya mengungkap peran warga NU dalam perjuangan mempertahakan kemerdekaan Indonesia.
Dalam hal ini, fatwa Jihad dan resolusi Jihad yang dikeluarkan KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menjadi pemicu para santri untuk berjuang mengangkat senjata dalam perlawanan melawan sekutu dan Belanda pada 10 November 1945.
KH Agus menyampaikan, resolusi Jihad tersebut memang tidak ditulis dalam sejarah karena memang jihad itu ibadah, jadi tidak perlu ditulis. Pemahaman bahwa jihad itu ibadah, membuat seruan tersebut disambut oleh seluruh masyarakat baik itu di Jawa Timur maupun di daerah-daerah lain.
KH Agus Sunyoto juga sosok sejarawan yang terus menekankan pentingnya memiliki rasa bangga terhadap khazanah dan kearifan sejarah bangsa Indonesia. Menurut beliau, mental bangsa Indonesia yang kerap minder terhadap bangsa lain karena tidak banyak memahami sejarah dan kehebatan bangsa Nusantara.
KH Agus mengungkapkan bahwa bangsa Nusantara pada masa Kerajaan Sriwijaya banyak memasok meriam dan senjata-senjata baja lainnya ke wilayah Malaka. Belum lagi senjata berteknik tinggi seperti keris, tombak, pedang, kujang, dan senjata baja lainnya.
Menurut KH Agus, senjata-senjata tersebut ditempa secara lahir dan batin sehingga memiliki kesaktian. Metode penempaan senjata-senjata tersebut juga menunjukkan bahwa bangsa Nusantara memilik teknik metalurgi yang sangat tinggi. Sebuah teknologi yang mempelajari tentang perilaku fisika dan kimia dari unsur-unsur logam, senyawa-senyawa antarlogam, dan paduan-paduan logam.
KH Agus juga sejarawan yang memiliki kesadaran untuk membangunkan generasi muda Indonesia terhadap tradisi dan budaya adiluhung, serta kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia. Sebab itu, ketika memimpin Lesbumi, KH Agus Sunyoto menggagas Saptawikrama yang berisi tujuh strategi kebudayaan. Saptawikrama dalam bahasa Arab al-qawa’id as-sab’ah atau secara bahasa berarti tujuh kakuatan.
KH Agus Sunyoto menyatakan, pada saat ini umat Islam Indonesia, khususnya warga NU menghadapi dua gelombang tantangan kebudayaan besar, dari barat dan timur. Sebab itu perlu adanya strategi kebudayaan yang berangkat dari kekuatan-kekuatan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Masyarakat Indonesia, terutawa warga NU kini kehilangan KH Agus Sunyoto. Pria kelahiran 21 Agustus 1959 di Surabaya itu merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Global Tarbiyatul Arifin, Malang, Jawa Timur.
Selain pendidikan di sekolah umum, KH Agus Sunyoto juga menempa ilmu di beberapa pondok pesantren. Pada awal-awal beliau belajar ilmu hikmah di Pesantren Nurul Haq Surabaya yang diasuh oleh KH. M. Ghufron Arif. Setelah selesai belajar di Pesantren Nurul Haq, beliau melanjutkan pendidikannya dengan belajar kepada KH. Ali Rochmat di Wedung, Demak, Jawa Tengah. Pada tahun 1994 masuk Pesulukan Thariqah Agung (PETA), Kauman, Tulungagung di bawah asuhan KH. Abdul Jalil Mustaqiim dan KH. Abdul Ghofur Mustaqiim.
HY