Opini

Kisah Pangeran Diponegoro Sampai Hamengku Buwono VI

Oleh: Rudi Andries*

Channel9.id-Jakarta. Tulisan ini dalam rangka memperingati Haul Pangeran Diponegoro ke-170 pada tanggal 8 Januari 2025.

Pangeran Diponegoro mempunyai Ibu bernama Ratu Ayu Mangkorowati (1770-1852), keturunan Ki Agung Prempelan, Tembayat (Pajang), kalangan ulama yang merupakan generasi ke-10 Sunan Ampel. Beliau adalah Selir (Garwa Ampilan) dari Sultan HB-III.

Sebenarnya Diponegoro adalah putra pertama dari Sultan HB-III. Terlahir bernama BRM Mustahar/BRM Antawirya/Bandoro Pangeran Aryo Dipo Negoro di Kraton Yogyakarta, 11 November 1785 (Jumungah Wagé, sasi Suro/Muharram, wanci saur).

Tetapi walau merupakan putra pertama sultan, ibunya bukan Garwa Padmi Sultan HB III sehingga ia tidak mewarisi tahta kesultanan.

Adapun Garwa Padmi Sultan HB III adalah Raden Ayu Adipati Anom (kemungkinan nama gelar saat suaminya diangkat sebagai Adipati Anom). Atau nama lainnya adalah Gusti Kanjeng Ratu Kencana (gelar permaisuri saat suaminya resmi menjadi Sultan) dan kelak dalam perwalian anak dan cucunya (Sultan HB IV & HB V) bergelar Gusti Kanjeng Ibu Suri/Gusti Kanjeng Ratu Agung/Ratu Ibu.

Ia adalah puteri Kanjeng Raden Temenggong Sasradining Rat I/Kanjeng Raden Temenggong Sasra Negara, Bupati Wedana Madiun (wilayah Jipang & Rajegwesi), dari garwa Bandara Raden Ayu Sasradiningrat, putri Sampeyan Dalam ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan HB-I Senapati ing Alaga Ngah ‘Abdu’l-Rahman Saiyid ud-din Panatagama Khalifatu’llah ingkang Jumeneng Kaping I, Sultan Yogyakarta.

Garwa Padmi ini kemudian berputra Gusti Raden Mas Ibnu Jarot/Gusti Raden Mas Bagus pada 1804. Dan di usia 8 tahun pada saat ayahnya diangkat menjadi Sultan HB III, ia diangkat menjadi Adipati anom atau putra mahkota.

Hanya selang 2 tahun, pada 1814, ayahandanya wafat. Sehingga ia kemudian diangkat menjadi Sultan HB IV.

Karena usianya yang masih belia, maka pemerintahan Sri Sultan HB IV didampingi oleh wali raja. Salah satu wali raja yang ditunjuk saat itu adalah Pangeran Notokusumo yang telah bergelar Paku Alam I, juga Ibunda Sultan –kemudian disebut Ratu Ibu, dan Patih Danurejo IV, yang menjalankan wewenang sebagai wali sultan sehari-hari.

Kedudukannya sebagai wali ditentukan hingga sultan mencapai akil baligh di usia 16 tahun pada 1820.

Kedekatan Pangeran Diponegoro dengan adiknya, Sultan HB IV, digambarkan seperti Kresna yang mengajari Arjuna. Ketika sang raja dikhitan pada tanggal 22 Maret 1815, Pangeran Diponegoro sendiri yang menutupi mata adiknya dengan kedua belah tangannya.

Baca juga: Pulangnya Seorang Ahli Nuklir ke Tanah Air

Kemudian, dalam Kitab Kedung Kebo dan Babad Ngayogyakarta disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro sangat memperhatikan pendidikan sang raja. Tidak jarang, dari Tegalrejo Pangeran Diponegoro menemui sultan belia untuk menceritakan kisah-kisah budi pekerti dari kitab Fatah Al-Mulk dan Raja-Raja khayali Arab maupun Suriyah. Sang pangeran juga sering membacakan naskah-naskah penting seperti Serat Ambiya, Tajus Salatin, Hikayat Makutha Raja, Serat Menak, Babad Keraton, Arjuna Sasrabahu, Serat Bratayudha, dan Rama Badra.

Untuk mendukung pendidikan sang raja kecil ini, Ratu Ibu juga menunjuk Kyai Amad Ngusman (Ahmad Usman) – kepala pasukan Suronatan dan Letnan Abbas – perwira Sepoy untuk mengajar baca Al Quran dan baca tulis Melayu.

Pangeran Diponegoro berusia 38 tahun ketika adiknya yang Sultan HB IV masih berusia 19 tahun tiba2 wafat saat besiyar (pesiar) pada 1823. Selanjutnya keadaan semakin mengkhawatirkan karena Sultan HB IV hanya mempunyai putra yang baru berusia 3 tahun.

Sehingga dibentuk Dewan Mangkubumi, yang merupakan wali sultan (HB V) dengan anggota dewan perwalian: Ratu Ageng (nenek Sultan, yang juga permaisuri Sri Sultan HB III/ibu tiri Diponegoro), Ratu Kencono (ibu Sultan, permaisuri Sri Sultan HB IV), Pangeran Mangkubumi (putra Sri Sultan HB II) dan Diponegoro sendiri.

Diponegoro pernah menegaskan dan kelak akan diulang-ulang di Babad Diponegoro versi Manado bahwa dia tidak pernah mengincar gelar sultan Yogyakarta. Tidak ada terlintas sama sekali dalam pikirannya saat Perang Jawa berkobar, untuk menggulingkan Sultan Yogyakarta yang masih muda, Sultan HB V (bertakhta 1822-1855).

Padahal sejak dahulu ketika Daendels (menjabat 1808-1811) berkuasa di Jawa menjadi gubernur jenderal, Daendels sudah menganugerahkan “Adipati Anom” kepada Diponegoro ketika pada tahun 1810 ayahnya Pangeran Surojo dinaikkan Daendels menjadi “Pangeran Wali” atau Sultan HB III menggulingkan Sultan HB II. Namun Diponegoro menolak karena hal itu merupakan perbuatan dosa. Dia merasa bukan lahir sepenuhnya dari darah ningrat. Walaupun ayahandanya seorang raja, tetapi ibundanya Raden Ayu Mangkorowati adalah orang biasa dan statusnya sebagai istri selir atau garwa ampeyan.

Adik Diponegoro kemudian menjadi Sultan HB IV (bertakhta 1814-1822), namun kemudian Diponegoro bermusuhan dengan sang adik ini. Konon saat itu pihak keraton yang dipimpin Sultan HB IV cenderung memiliki kedekatan dengan pemerintah kolonial Belanda yaitu Nahuys Van Burgst selaku residen Belanda di Yogyakarta.

Ketegangan antara Diponegoro dengan keraton membuncah saat dokumen wasiat yang ditulis oleh ayah Diponegoro, Sultan HB III terkuak, yang mengakui hak kesulungan Diponegoro atas tahta Yogya. Masalah ini sempat menjadi bahan perbantahan antara Diponegoro dan ibu tirinya (Ratu Ageng).

Raden Ayu Retnoningsih adalah istri Diponegoro.  Mereka sangat mengagumi kesalehan Pangeran Dipowiyono, ayah dari adik iparnya Diponegoro yaitu Tumenggung Dipowiyono. Tumenggung Dipowiyono menikahi Raden Ayu Dipowiyono, adik kandung Diponegoro sendiri yang ikut serta ke pengasingan di Manado. Diponegoro pernah diasingkan ke Menado, kemudian ke Makassar sampai meninggal pada 8 Januari 1855 dan dimakamkan di Makassar.

Saat Kanjeng Ratu Sekar Kedaton yang merupakan permaisuri HB V  dan putra mahkota Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga dibuang ke Manado, turut serta sejumlah pengawal dan keluarga dekat mereka. Termasuk di dalamnya adalah Kyai Modjo, penasehat agama sekaligus panglima perang Pangeran Diponegoro.

Pembuangan keluarga inti kerajaan Yogyakarta itu dilatarbelakangi masalah politik internal akibat intervensi penjajah Belanda saat itu. Namun, tak ada penjelasan kapan persisnya permaisuri dan putra mahkota Sultan HB V dibuang ke Manado.

Putra Mahkota Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga meninggal terlebih dahulu di tahun 1901, sementara permaisuri Kanjeng Ratu Sekar Kedaton menyusul di tahun 1918.

Jejak keturunan raja Mataram di Menado

Haji Mohammad Albuchari (80), keturunan Kiai Modjo dari Kampung Jawa Tondano (Jaton), berkisah tentang keberadaan dua makam anggota keluarga Kesultanan Yogyakarta di Kampung Pondol, Kelurahan Wenang Selatan, Kecamatan Wenang, Manado, Sulawesi Utara.

Kedua makam itu, yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan putra mahkota Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga.

Kampung Pondol ini dulunya terbagi dua. Yang pertama Pondol Keraton sebagai tempat tinggal Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan yang kedua Pondol Raden Mas.

Di Kampung Pondol Raden Mas itu, berdiri salah satu masjid tertua di Kota Manado. Tepat di belakang masjid, sebuah rumah sederhana ditempati Albuchari bersama keluarganya.

Ayahnya bernama KH Abdurahman Albuchari adalah keturunan salah satu pengikut Kiai Modjo, yakni Kiai Guzali. Namun karena mewarisi garis keturunan dari nenek, maka marga Guzali hilang, dan mereka menggunakan Albuchari.

Saat Kanjeng Ratu Sekar Kedaton masih hidup, KH Abdurahman Albuchari yang pindah dan berdomisili di Manado adalah orang yang ditugasi menarik iuran dari para penghuni di Kampung Pondol Keraton dan Pondol Raden Mas.

Kompleks Pemakaman Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan putra mahkota Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga masih tetap berdiri karena dianggap merupakan keturunan keraton.

Sejak beberapa tahun terakhir ini, Albuchari tidak lagi memegang kunci kompleks pemakaman. Kunci itu sidah diserahkan ke salah satu mantan abdi dalem Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, yakni Sukardi Soepredjo.

Sukardi adalah ayah dari mantan anggota DPR RI (2009-2016) dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Hj. Yasti Soepredjo (Sumartini Silagondo Triastuti Soepredjo), yang pernah menjabat Bupati Kabupaten Bolaang Mongondow (2017-2022), dan kini anggota DPR RI (2024-2029) dari Fraksi PDIP.

Sultan HB X dan istrinya Ratu Hemas pernah berkunjung ke Sulawesi Utara pada 30 Juni – 2 Juli 2017 lalu untuk mengikuti Gebyar Ketupat dan Munas Keluarga Jaton di Minahasa, tapi tidak sempat mampir ke makam tersebut.

Sultan HB V nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Gathot Menol yang kemudian bergelar Pangeran Mangkubumi, anak keenam sekaligus putra mahkota Sultan HB IV dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono, yang lahir pada 24 Januari 1820 di Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ada keguncangan yang berusaha diredam di dalam Kraton Yogyakarta pada 5 Juni 1855 itu. Sultan HB V ditemukan tewas terhunus di salah satu ruangan istana. Usut punya usut, si pembunuh raja ternyata sang selir sendiri, istri ke-5 yang konon paling disayang, Kanjeng Mas Hemawati.

HB V memang menjalani hidup bak cerita sinetron. Ia dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta ketika umurnya baru menginjak 3 tahun, masih di bawah umur. Takhtanya pun sempat “diambil” lagi oleh pendahulunya, HB II (1750-1828), atas campur tangan dan kepentingan Belanda. melalui Hendrik Merkus de Kock (1779-1845), perwira tinggi militer yang sempat mengampu jabatan sementara sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan merupakan tokoh berpengaruh dalam Perang Jawa (1825-1830) melawan pasukan Diponegoro.

HB II sebenarnya masih menjalani masa pengasingan di Maluku, sebelumnya dibuang ke Pulau Pinang (kini termasuk wilayah Malaysia), hukuman yang dijatuhkan oleh pemerintah pendudukan Inggris pada 1812. Belanda, yang akhirnya berkuasa lagi di Hindia Belanda, memulangkan HB-II tentunya dengan misi khusus.

Sang sultan belia HB V diturunkan dari singgasananya pada 17 Agustus 1826. Raja yang pernah menjadi pendahulunya, HB II atau yang berjuluk Sultan Sepuh karena memang sudah renta, dinobatkan sebagai raja lagi sehari berselang. Ini adalah kali ketiga HB II naik takhta setelah periode 1792-1810 dan 1811-1812.

Sultan HB V naik singgasana lagi setelah HB II wafat pada awal tahun 1828, namun pemerintahan HB V justru kehilangan banyak dukungan dari internal keraton maupun sebagian rakyat Yogyakarta. Situasi ini berlangsung hingga sang raja mati tragis, ditikam dari belakang oleh selirnya.

Sultan HB V cenderung main aman selama berkuasa. Ia tidak ingin terjadi lagi pertumpahan darah yang harus mengorbankan rakyat, terutama setelah usainya Perang Jawa. HB V juga meneken kontrak politik dengan Belanda yang berlaku bahkan hingga era Sultan HB IX yang berakhir pada 1988.

HB V juga menciptakan beberapa jenis tarian khas kraton, salah satu yang paling terkenal adalah Tari Serimpi dengan berbagai variannya, termasuk Serimpi Kandha, Serimpi Renggawati, Serimpi Ringgit Munggeng, Serimpi Hadi Wulangun Brangta atau Serimpi Renggowati, dan lainnya.

Akan tetapi, ternyata tidak semua pihak sepakat dengan strategi kooperatif yang diambil oleh Sultan HB V, termasuk saudaranya sendiri yakni Gusti Raden Mas Mustojo. Pangeran ini adalah putra ke-12 Sultan HB IV dari permaisuri Ratu Kencono atau adik kandung Sultan HB V. Dia menjalin ikatan kuat dengan Kesultanan Brunei setelah memperistri putri dari kerajaan seberang pulau itu.

Tanggal 5 Juni 1855, 164 tahun lalu, terjadilah aksi pembunuhan yang nantinya mengubah alur trah kepemimpinan Kesultanan Yogyakarta itu. Sultan HB V ditikam dari belakang oleh sang sang selir hingga tewas. Pihak keraton menutup rapat-rapat segala hal tentang kasus ini, termasuk tentang keberadaan Kanjeng Mas Hemawati setelah menghabisi nyawa suaminya sendiri. Sampai kini, alasan Kanjeng Mas Hemawati melakukan tindakan tersebut belum terkuak, masih menjadi misteri tersendiri dalam riwayat sejarah raja-raja Dinasti Mataram Islam. Peristiwa tragis yang rincinya hanya diketahui oleh kalangan terbatas itu dikenang dengan istilah “wereng saketi tresno” atau “mati di tangan yang dicintai”. Ketika insiden pembunuhan itu terjadi, permaisuri Sultan HB V yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, sedang hamil tua. Dan, 13 hari pasca-Sultan HB V tewas, lahirlah anak yang dikandungnya itu dan seharusnya menjadi penerus tahta Yogyakarta. Anak tersebut diberi nama Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga atau Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad. Pascaperistiwa pembunuhan Sultan HB V, keduanya diasingkan Belanda ke Menado hingga meninggal disana.

Sultan HB VI dinobatkan pada 5 Juli 1855 untuk menggantikan sang kakak, Sri Sultan HB V, yang meninggal karena pembunuhan. Semestinya penggantinya adalah Gusti Pangeran Arya Suryeng Ngalaga yang ketika itu sedang diasingkan di Menado hingga meninggal tahun 1901.

HB VI wafat pada 20 Juli 1877 di usia 56 tahun dan dimakamkan di Astana Besiyaran, Pajimatan, Imogiri.

Pada 8 Maret 2012 di Tegalrejo Yogyakarta, bekas kediaman Diponegoro yang dibakar, bersamaan dengan peluncuran buku Kuasa Ramalan mahakarya (magnum opus) Peter Carey. Para keturunan Diponegoro yang ada di seluruh penjuru Indonesia menyatu dan berikrar sebagai saudara sesama keturunan Diponegoro.

*LAPEKSI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

64  +    =  68