Nasional

Kisah Prof. Komarudin, Anak “Tukang Dedek” Indramayu yang Sukses Jadi Rektor UNJ Selama 2 Periode

Channel9.id-Jakarta. Prof. Komarudin resmi dilantik kembali menjadi Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) untuk periode 2023 – 2027 oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi  Republik Indonesia, Nadiem Makarim. Pelantikan ini dilaksanakan di Graha Utama Lantai 3 Gedung A Kemendibudristek, Jakarta Pusat pada Senin (25/9/2023) sekitar pukul 13.00 WIB. Pelantikan ini merupakan masa jabatan kedua Prof. Komarudin sebagai Rektor UNJ.

Dari sisi pengalaman kepemimpinan di UNJ, pria kelahiran Indramayu ini tidak diragukan lagi. Banyak pengalaman kepemimpinan yang dijabat Prof. Komarudin, dari menjabat Sekretaris Jurusan PMP-KN FPIPS IKIP Jakarta, Ketua Jurusan Ilmu Sosial Politik FIS UNJ, Wakil Dekan IV FIS UNJ, Kepala Pusat KMK Lemlit UNJ, Dekan FIS UNJ, Wakil Rektor Bidang 2 UNJ, hingga kini menjadi Rektor UNJ untuk 2 periode.

Sementara untuk pengalaman kepemimpinan di luar UNJ, Prof. Komarudin juga dipercaya untuk mengemban amanah yang antara lain, Ketua Bidang Kampus Mengajar Majelis Rektor PTN se-Indonesia, Ketua Komisi Pendidikan Forum Rektor Indonesia, Ketua Umum Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI), Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pendidik Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI) DKI Jakarta, dan Ketua Dewan Pakar Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) DKI Jakarta, serta masih banyak lagi amanah yang pernah dan sedang dijalankan oleh Prof. Komarudin.

Prof. Komarudin merupakan anak kedelapan dari sembilan bersaudara, namun lima saudaranya sudah meninggal dunia. Tinggal Prof. Komarudin bersama ketiga kakaknya yang masih hidup.

Nama “Komarudin” sendiri diberikan oleh seorang ulama setempat, KH. Hasan Hariri melalui orangtuanya. Saat kelahiran kakaknya, orangtuanya meminta nama yang bagus kepada Pak Kyai dan oleh Pak Kyai diberi 2 nama, yaitu Saepudin dan Komarudin. Ternyata orangtuanya memilih nama untuk kakaknya, Saepudin. Hingga saat kelahirannya kemudian, nama “Komarudin” langsung diberikan kepadanya oleh orangtuanya. Prof. Komarudin sendiri berasal dari keluarga petani kecil, yang juga bekerja sebagai pengumpul sekam atau kulit padi, yang oleh orang setempat di penggilingan padi sekitar Jatibarang disebut “dedek”, sehingga kemudian ayahnya dikenal dengan istilah “tukang dedek”.

Tingkat ekonomi keluarga Prof. Komarudin yang hanya “tukang dedek” dan penuh keterbatasan ini, tidak lantas membuat dirinya berkecil hati dalam mengenyam pendidikan. Prof. Komarudin tetap semangat dan berjuang dalam menjalani pendidikan. Prof. Komarudin yang menghabiskan masa kecilnya di Desa Bulak, Jatibarang, Indramayu ini, menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Bulak III Indramayu pada tahun 1977. Semasa bersekolah di SDN Bulak III Indramayu, Prof. Komarudin dikenal sebagai siswa yang aktif dalam berorganisasi, olahraga, kegiatan sosial, serta berprestasi. Hal ini dibuktikan dengan predikat lulusan terbaik pada SDN Bulak III Indramayu. Hal yang hampir sama juga dilakukan semasa Prof. Komarudin menempuh pendidikannya di jenjang Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) I Jatibarang Indramayu. Ia kembali menorehkan prestasinya semasa di SMPN I Jatibarang Indramayu dan menjadi lulusan terbaik pada tahun 1981.

Prestasi yang diraih semasa bersekolah di SD dan terutama saat SMP, tidak lepas karena potensi dan ketekunan Prof. Komarudin dalam belajar. Memang, menurutnya kesempatan dan ketekunan belajar di masa SMP jauh lebih baik dibandingkan waktu SD karena kondisi dan tantangan yang berbeda. Semasa SMP, Prof. Komarudin lebih sering tinggal di masjid dekat rumahnya untuk shalat berjamaah dan belajar ilmu agama selepas shalat maghrib atau shalat subuh. Sehabis mengaji, pada malam harinya Prof. Komarudin melanjutkan untuk belajar materi pelajaran sekolah. Bahkan teman bermain Prof. Komarudin mengatakan bahwa waktu belajar yang dijalankan Prof. Komarudin terlalu berlebihan. Seringkali belajar lewat dari jam 12 dini hari. Belajar yang berlebihan ini konon karena dua hal, pertama karena tantangan kehidupan yang mendorongnya ingin mengubah hidup lebih baik, dan kedua karena “kurio” atau rasa ingin tahu yang tinggi.

Selepas lulus dari SMPN I Jatibarang Indramayu, Wali Kelas dari Prof. Komarudin, almarhum Pak Ali, menyarankan untuk melanjutkan studi lanjutnya di salah satu SMAN unggulan di Cirebon karena prestasi dan nilai pelajaran yang bagus. Namun karena kekuatiran orangtua atas biaya sekolah dan keinginan untuk cepat bekerja, Prof. Komarudin kemudian melanjutkan studinya di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Indramayu.

SPG adalah sekolah yang seleksinya sangat ketat dan biasanya tidak lebih dari sepertiga dari jumlah pendaftar yang lolos seleksi, bukan karena biayanya yang tinggi. Mereka yang diterima pun kebanyakan dari masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah, yang menjadikan sulit menembus seleksi adalah beratnya materi yang harus dikerjakan. Ada tes kepribadian termasuk bakat dan minat, tes kemampuan akademik, dan tes fisik. Jadi, siapapun yang masuk di SPG sudah pasti anak-anak yang punya kepribadian, akademik, fisik, serta memiliki bakat dan minat yang baik sebagai modal menjadi seorang guru. Meski, tidak semuanya berminat menjadi guru, melainkan lebih dikarenakan ingin cepat bekerja, terutama menjadi PNS.

Selama bersekolah di SPG, Prof. Komarudin memperoleh keseimbangan antara belajar dan organisasi. Hal ini terbukti, meski aktif berorganisasi dan sempat menjadi Ketua Umum OSIS selama satu tahun (1982-1983), Prof. Komarudin juga lulus dengan predikat sebagai lulusan terbaik SPGN Indramayu tahun 1984.

Setelah lulus SPG ada kebimbangan pada Prof. Komarudin, antara keinginan cepat kerja menjadi guru SD dengan keinginan melanjutkan kuliah. Pada kondisi ini, kehadiran Pak Suhaili salah seorang guru muda di SPGN Indramayu memberi arti. Suhaili menyarankan agar dirinya melanjutkan studi ke pendidikan tinggi, tepatnya ke IKIP. Menurut Suhaili, prestasi akademik dan organisasi yang dimiliki Prof. Komarudin akan lebih baik lagi jika dilanjutkan di perguruan tinggi, sayang saja kalau hanya menjadi guru SD.

Hal ini yang kemudian menjadi motivasi Prof. Komarudin untuk melanjutkan pendidikan tinggi dan kuliah di IKIP Jakarta. Pada tahun 1984 mengikuti Sipenmaru dan diterima di program studi D2 Keterampilan PKK. Lalu, karena alasan dan kondisi tertentu, pada tahun 1985 kembali mengikuti Sipenmaru dengan memilih Jurusan  Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMP–KN), FPIPS, IKIP Jakarta dan kemudian setelah mengikuti proses selama lima tahun lulus pada tahun 1990 dengan predikat Lulusan Terbaik FPIPS IKIP Jakarta.

Semasa menjadi mahasiswa, selain menjalankan tugas sebagai guru di SMEAN 15 Jakarta, Prof. Komarudin juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Organisasi kemahasiswaan yang pertama diikuti oleh Prof. Komarudin di kampusnya adalah HMJ dan pada tahun 1987/1988 menjadi Sekretaris Umum HMJ. Selain itu juga aktif di Racana Pramuka dan menjadi Ketua Racana Putra pada 1988/1989. Di waktu bersamaan Prof. Komarudin menjadi Ketua Komisi BPM FPIPS IKIP Jakarta. Selain aktif di Racana Pramuka, Prof. Komarudin juga turut mengikuti kegiatan organisasi kemahasiswaan lain, seperti Forum Diskusi Ilmiah Mahasiswa Ekaprasetya (FODIM-E) yang sekarang bernama Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM), Lembaga Dakwah Kampus (LDK), dan Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika.

Atas prestasi yang ditorehkan oleh Prof. Komarudin semasa menjadi mahasiswa, ia pun setelah lulus ditawari oleh Dekan FPIPS, Prof. M. Hasan, untuk mengabdi di almamaternya menjadi dosen. Tawaran ini pun disambut Prof. Komarudin dengan mengikuti proses administrasi sebagai penyandang Beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas (TID), yaitu mengurus rekomendasi dari ketua jurusan, dekan hingga rektor. Dengan tidak menunggu lama, semua berkas pengusulan termasuk rekomendasi rektor diserahkan ke kementerian hingga akhirnya keluarlah SK CPNS sebagai Dosen IKIP Jakarta pada Juni 1991, tapi dalam SK terhitung mulai tanggal 1 Maret 1991.

Prof. Komarudin juga menjadi lulusan terbaik peringkat 1 saat Prajabatan CPNS Dosen tahun 1992. Tidak lama setelah menjadi dosen, tepatnya saat menjabat sebagai Sekretaris Jurusan, Prof. Komarudin meraih prestasi sebagai Dosen Teladan Nasional pada tahun 1996 di masa Mendikbud Prof. Dr. Eng. Wardiman Djojonegoro.

Tidak puas dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, Prof. Komarudin kemudian melanjutkan jenjang Magister di Departemen Sosiologi, FISIP Universitas Indonesia dan lulus tahun 1999. Kemudian melanjutkan studi jenjang doktoralnya di Pascasarjana UNJ di Prodi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan dan lulus tahun 2012. Atas capaian prestasi dalam bidang akademik, Prof. Komarudin pada Juni 2020 lalu meraih jabatan akademik sebagai Guru Besar Tetap UNJ dalam Bidang Ilmu “Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” yang dikukuhkan pada tanggal 18 Juni 2021.

Kini anak “Tukang Dedek” dari Jatibarang Indramayu, sudah berhasil mencapai karir akademik tertinggi sebagai seorang dosen, yaitu “Guru Besar atau Profesor”. Ia juga sukses menakhodai UNJ dengan berbagai prestasi dan reputasi di periode pertamanya. Kini tantangan baru siap menanti kepemimpinan Prof. Komarudin di periode keduanya. Mengingat di periode keduanya, UNJ akan bertransformasi dari PTN-BLU menjadi PTN-BH. Namun, ayah dari 3 orang anak ini optimis bahwa UNJ akan terus melesat prestasi dan reputasinya untuk mencapai World Class University.

Pada kesempatan ini, Prof. Komarudin menyampaikan bahwa saat UNJ berubah statusnya menjadi PTN-BH, maka potensi aset yang dimiliki UNJ saat ini akan dikembangkan lebih luas lagi dalam rangka sebagai sumber pemasukan utama UNJ.

Baca juga: Sah! Prof. Komarudin Kembali Terpilih Menjadi Rektor UNJ Periode 2023-2027

“Mari bersama kita bangun UNJ yang kita cintai untuk menjadi kampus yang terus menorehkan berbagai prestasi hebatnya, serta mewujudkan visi – misinya menjadi kampus bereputasi dunia, mendidik lulusan yang berkualitas sesuai dengan tuntutan era globalisasi saat ini, dan tentu bersamaan dengan itu tetap mewujudkan kampus humanis yang memuliakan keberagaman, kesetaraan, inklusif, anti perundungan dan anti kekerasan seksual”, ungkapnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  54  =  63