Menangkal Terorisme Dengan HAM
Opini

Kisah Tentang Heroisme Buku (1)

Oleh: Soffa Ihsan*

Channel9.id-Jakarta. Buku punya kisah. Ada terhampar cerita tentang penghancuran terhadap buku. Seperti penyaksian Fernando Baez, pakar perbukuan asal Venezuela saat pasukan Amerika menggempur Baghdad pada Mei 2003.

Ketika itu, peradaban dihancurkan lewat pembakaran buku dan perusakan museum-museum. Fakta ini mengulang sejarah saat pasukan Hulaghu Khan masuk Baghdad dan menghancurkan isi perpustakaan, melempar buku dan membakarnya. Inilah kisah para Biblioklas, penghancur buku yang hadir dari sejak baheula hingga dunia moderen ini. Bagi Baez, penghancuran buku sama artinya pemusnahan terhadap manusia. Buku hancur bukan sebagai objek fisik, melainkan sebagai tautan memori, tautan pada kesadaran akan pengalaman masa lampau. Buku menjilid memori manusia. Bagi orang Yunani, memori adalah ibu dari sembilan dewi, namanya Mnemosin. Menyitir John Milton pula, apa yang dihancurkan dalam sebuah buku adalah rasionalitas yang dihadirkannya.

Tapi buku bukan hanya ditakuti lalu dihancurleburkan. Buku bisa menjadi ‘makhluk’ yang bisa merasuki seseorang hingga dia kalap dan lalu bertindak merusak. Maka, piara buku demi sebuah heroisme idiologi. Membangun cita-cita meniscaya lewat buku. Karenanya, buku diyakini bisa menjadi instrumen efektif untuk menggelorakan dan memandu para pengikutnya untuk tetap komitmen dan melangkah pada jalan yang diperjuangkan.

Kelompok teroris ISIS sangat sadar itu dan lalu berkarya serta menyebarluaskan karya-karyanya. Misalnya pernah terbit sebuah buku ‘panduan’ digital untuk para anggotanya di seluruh dunia. Judulnya ‘Panduan Keselamatan dan Keamanan Bagi Pelaku Tunggal Mujahidin dan Jaringan Kecil’ ini berhasil terungkap dan dilaporkan dalam situs Telegraph. Buku ‘panduan’ yang ditujukan bagi militan ISIS ini ditulis dalam bahasa Inggris. Dikabarkan, panduan ini aslinya berasal dari dokumen yang sebelumnya ditulis dalam bahasa Arab untuk kelompok al-Qaeda, yang akhirnya memisahkan diri dengan ISIS pada tahun 2014. Buku ini pun juga dikabarkan merujuk pada dokumen jihad terkenal yang berjudul ‘Membuat Bom di Dapur Ibu Anda’. Dislamnya memuat berbagai tips terkait apa yang harus dilakukan seorang militan untuk bisa melancarkan sebuah serangan.

Dari Literasi Ke Aksi

Ingat Ganna Pryadharizal Anaedi Putra? Hiruk pikuk pro-kontra pemulangan 600 WNI di Suriah sepertinya melupakan sosok yang satu ini. Kisahnya bisa melabrak akal sehat dan menujah normalitas. Pria kelahiran  Jakarta ini pergi ke Suriah memboyong istrinya, Syifa Annisa, dan ketiga anak mereka. Istri keduanya, Sefi Ubudiyah, yang alumnus Universitas Negeri Jakarta juga ikut menyusulnya. Mereka tiba di Raqqa, ibu kota kekhalifahan ISIS, pada Oktober 2015, gelombang terakhir orang Indonesia yang hijrah ke negara konflik dan pusat Daulah Islamiyah itu.

Ganna adalah alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir. Ganna mendalami pemikiran Islam di Fakultas Ushuluddin. Ia belajar cabang-cabang ilmu filsafat Islam yang bagi sebagian kelompok dianggap sebagai ‘ilmu sesat’. Diawal-awal pergulatannya, pemikiran Ganna tumbuh dari para pemikir Islam kiri, salah satunya Hassan Hanafi, pemikir terkemuka di Mesir.

Sepulang ke Indonesia, Ganna bekerja di koran Sindo, lebih dari setahun dan menjadi reporter untuk rubrik internasional. Di masa sebelum bergabung ISIS inilah Ganna sempat pula menjadi editor dan penerjemah di Pustaka Al-Kautsar, sebuah penerbitan buku Islami di Jakarta. Ia menerbitkan macam-macam buku, dari buku saku panduan untuk jemaah haji hingga buku tentang fikih atau hukum Islam. Setidaknya, ia menerbitkan sebelas buku yang terdata dalam katalog Perpustakaan Nasional.

Seiring waktu, siapa sangka, Ganna yang dikalangan sejawat kerjanya dikenal cerdas dan senang bercanda, memilih jalur yang sangat radikal sampai-sampai memutuskan ke Suriah dan bergabung ISIS. Asupan buku-buku radikal telah menyiram sekujur pikiran Ganna. Ganna pun berjejaring dengan Kholid Abu Bakar via Gema Salam, sayap pemuda Jamaah Ansharut Tauhid pimpinan Abu Bakar Ba’asyir. Kholid adalah ustadz untuk keluarga Surabaya yang melakukan bom bunuh diri di tiga gereja. Ia juga punya keluarga di Suriah. Pada 2013, Gema Salam pernah secara terbuka mendukung ISIS di Suriah dan mengendalikan situs shoutussalam.org, yang menerjemahkan media propaganda ISIS untuk pembaca Indonesia. Belakangan, situs itu ditutup pemerintah Indonesia. Tersingkap pula Ganna adalah anak buah Aman Abdurrahman, pencetus Jamaah Ansharut Daulah, yang berbaiat pada ISIS.

Kemampuan Ganna dalam literasi, membuatnya diberi posisi penting dalam divisi media ISIS. Ia diberi akses kontrol ke Amaq News Agency, media resmi propaganda ISIS. Peran Ganna dan Amaq bisa kita telusuri dari kasus kerusuhan Rutan Salemba cabang Mako Brimob, 8 Mei 2018. Dua jam setelah kerusuhan itu, Amaq mengklaimnya sebagai aksi pendukung ISIS. ISIS tak sembarang main klaim atas satu serangan ganas demi menjaga profilnya sebagai organisasi yang punya disiplin ketat. Biasanya ISIS melakukan proses verifikasi suatu serangan di bawah kontrol jaringan globalnya selama lebih dari enam jam. Kecepatan proses verifikasi itu karena ada akses informasi dan komunikasi langsung antara para tahanan di Mako Brimob dan divisi media Amaq di Suriah, yang dilakoni Ganna.

Cilaka dua belas, Ganna tewas dalam serangan bom Pasukan Koalisi pada Mei 2018. Kabar kematiannya pernah diunggah di Facebook istrinya, Syifa Annisa. “Insya Allah jual beli Aa Ganna dengan Allah sudah laku,” kata Syifa, bernada bangga. Ya, untunglah dia sudah tewas, sehingga tidak merepotkan pemerintah Indonesia yang tengah didera tarik ulur soal pemulangan WNI yang hijrah ke Suriah.

Bersambung

*Penulis hanyalah seorang Marbot Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  47  =  53