Channel9.id – Jakarta. Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) menyatakan keberatan terhadap tindakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menerbitkan Surat Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (SPKKPRL).
Menurut Ekomarin, surat tersebut akan mendorong berbagai tambang di laut yang semakin luas dan berdampak buruk terhadap sumber daya kelautan nasional.
Koordinator Ekomarin Marthin Hadiwinata menilai tindakan tersebut merupakan bentuk legalisasi perusakan sumber daya dan lingkungan hidup kelautan. Hal ini bertentangan dengan prinsip perlindungan lingkungan laut, di mana terdapat prinsip pencegahan kerusakan dan prinsip kehati-hatian terhadap setiap aktivitas usaha yang berdampak meluas.
Marthin pun menjelaskan alasan dirinya menolak upaya pertambangan di laut. Menurutnya, dampak pertambangan di perairan laut adalah irreversible yang berarti tidak dapat dipulihkan seperti semula dan akan terjadi dalam jangka waktu lama. Studi terhadap tambang di perairan dalam lautan, lanjut Marthin, menunjukkan adanya irreversible.
Berdasarkan pengamatannya, masalah terbesar umat manusia saat ini adalah krisis iklim. Namun, dengan melegalisasi tambang di laut berarti mempercepat krisis iklim yang sudah terjadi. Salah satu dampak buruk dari krisis iklim adalah anomali iklim dan intensitas bencana yang meningkat.
Dampak akhir yang akan menerima adalah umat manusia, salah satunya yang utama adalah nelayan kecil yang merupakan mayoritas pelaku perikanan nasional.
“Selain tidak dapat dipulihkan, dampak tersebut cenderung bertahan lama yang kemungkinan pemulihannya memakan waktu yang panjang. Di sisi lain, keanekaragaman hayati di laut juga belum di eksplorasi dan dipetakan sepenuhnya”, kata Marthin, dikutip dari siaran pers Ekomarin, Jumat (10/3/2023).
Rachmi Hertanti selaku peneliti dari Transnational Institute menjelaskan bahwa legalisasi pertambangan di laut Indonesia didorong oleh perlombaan untuk menguasai bahan baku mineral penting di dunia untuk akselerasi transisi energi hijau dan digitalisasi.
Ia menambahkan, hal ini diklaim untuk memperkuat agenda hilirisasi industri untuk nilai tambah produksi produk tambang Indonesia. Namun, yang terjadi adalah legalisasi kebijakan yang memprioritaskan investasi tanpa adanya penilaian dampak keberlanjutan lingkungan jangka panjang bagi kehidupan rakyat.
“Alih-alih hilirisasi bicara soal stabilisasi pertumbuhan ekonomi nasional, ekspansi wilayah tambang di wilayah laut untuk hilirisasi industri hanya akan berdampak terhadap keberlanjutan lingkungan dan penghidupan masyarakat pesisir. Negara kaya sumber daya alam seperti Indonesia hanya akan kembali menjadi target eksploitasi dalam kompetisi rantai pasok mineral global hari ini”, ungkap Rachmi.
Sebagai produsen pangan yang berkontribusi terhadap 60 persen pangan protein hewani nasional, tambang laut adalah ancaman terhadap kedaulatan pangan perikanan nasional. Sialnya, menurut Rachmi, nelayan kecil sebagai kelompok rentan yang terus termiskinkan dan termarjinalkan oleh kebijakan negara, selalu dipaksa menerima ambisi-ambisi negara dalam mengeruk sumber daya alam, yang terbukti menciptakan ketimpangan dan penciptaan lapangan pekerjaan jangka pendek.
Sebagai informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Rabu (8/3/2023) menyerahkan Surat Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (SPKKPRL) untuk PT Timah Tbk. Surat tersebut memberikan konsesi kepada PT Timah untuk mengurus izin usaha pertambangan di laut.
Baca juga: Ekomarin: Pengesahan Perpu Cipta Kerja Pengkhianatan Terhadap NKRI
HT