Karhutla
Nasional

KLH: Sebagian Besar Karhutla Akibat Aktivitas Manusia, Penegakan Hukum Diperkuat

Channel9.id, Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menegaskan komitmennya dalam memperkuat penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera Selatan, salah satu wilayah dengan potensi titik api terbesar di Indonesia. Menteri KLH Hanif Faisol Nurofiq menekankan bahwa pengendalian karhutla bukan sekadar urusan teknis, melainkan misi kolektif untuk melindungi ekosistem, kesehatan masyarakat, serta menjaga reputasi Indonesia di mata dunia.

Menurut Hanif, strategi pengendalian karhutla juga merupakan bagian dari upaya nasional mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendukung komitmen perubahan iklim. “Keberhasilan kita bergantung pada keterpaduan semua pihak — pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kolaborasi ini adalah kunci utama,” ujarnya, Rabu (30/7/2025).

KLH bersama BMKG, BNPB, TNI/Polri, dan pemerintah daerah telah mengaktifkan langkah antisipasi sejak awal 2025, mengingat prediksi BMKG bahwa puncak kemarau akan terjadi Juni–Agustus 2025. Tiga pilar utama menjadi fokus: pencegahan aktif, deteksi dini berbasis teknologi, dan penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran.

Hanif mendorong pemanfaatan sistem Fire Danger Rating System (FDRS) dari BMKG sebagai alat utama untuk memproyeksikan risiko kebakaran secara real-time. Selain itu, pemantauan berbasis satelit, drone pendeteksi suhu, serta dashboard titik api menjadi kewajiban di lapangan. Ia juga menyoroti efektivitas Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) yang telah dilakukan tujuh kali di Sumsel, meski menegaskan langkah ini tidak bisa menjadi solusi tunggal karena biaya tinggi.

Hanif mengungkapkan, sebagian besar karhutla tahun ini terjadi di luar kawasan hutan dan lahan gambut. Data KLH menunjukkan, meski Sumatera Selatan memiliki 2,1 juta hektare lahan gambut (23% dari total wilayah), sebagian besar titik kebakaran justru berada di lahan mineral. “Lahan gambut dengan muka air stabil di ambang 40 cm jarang terbakar secara alami. Jika tetap terjadi kebakaran, hampir pasti ada aktivitas manusia di baliknya. Itu sebabnya penegakan hukum menjadi krusial,” tegasnya.

Berdasarkan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2019, KLH bersama aparat hukum diminta mengaktifkan seluruh jalur penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran. Langkah hukum ini, kata Hanif, bukan hanya reaksi, tetapi sinyal tegas bahwa negara hadir melindungi hak hidup masyarakat dari bencana ekologis.

Hingga 23 Juli 2025, BPBD Sumatera Selatan mencatat 1.104 titik panas dan 64 kasus karhutla dengan total area terdampak sekitar 43 hektare. Secara nasional, Januari–Mei 2025 terjadi 983 kejadian karhutla dengan total 5.485 hektare terdampak. Seluruh titik api aktif di Sumsel telah berhasil dipadamkan melalui sinergi Satgas Karhutla, TNI, Polri, BPBD, dan masyarakat.

“Keberhasilan Sumatera Selatan adalah tolok ukur keberhasilan nasional. Dengan teknologi, koordinasi lintas sektor, dan penegakan hukum yang tegas, kita bisa menekan karhutla dan menjaga langit Sumsel tetap biru,” pungkas Hanif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  15  =  17