Oleh: Kemal H. Simanjuntak*
Channel9.id-Jakarta. Di Indonesia, kata “komisaris” seringkali terdengar lebih sebagai titel sosial ketimbang fungsi substantif dalam tata kelola perusahaan. Terlebih jika ditempatkan dalam konteks BUMN, di mana penunjukan komisaris kerap menyerupai “bagi-bagi kue” pasca pemilu. Padahal, posisi ini semestinya memikul peran strategis dalam menjamin tata kelola yang efektif, manajemen risiko yang terukur, dan kepatuhan hukum yang ketat. Namun di negeri penuh akal-akalan ini, jabatan mulia itu tak jarang berubah menjadi kursi hangat yang menyenangkan, tapi kosong makna—sekadar stempel formalitas untuk melegitimasi praktik yang tak selalu etis.
Kita bisa mulai dari peran utama dewan komisaris: melakukan pengawasan. Tapi mari jujur, pengawasan di Indonesia kadang terasa seperti sopir angkot yang ditugasi menginspeksi jet tempur—tak nyambung, minim kapasitas, dan kadang sengaja buta huruf. Ketika sebuah BUMN ambruk karena investasi bodong atau proyek mangkrak, kita bertanya, “Ke mana para komisaris saat itu?” Sayangnya, yang menjawab bukan suara mereka, melainkan bunyi sunyi yang memekakkan: hening.
Sebut saja skandal Jiwasraya, yang merugikan negara lebih dari Rp16 triliun. Komisaris ada, rapat ada, gaji ada, fasilitas wah ada—tapi pengawasan? Entah di mana. Hal yang sama terjadi di Garuda Indonesia, saat utang menggunung dan direksi asyik mengimpor motor Harley dalam pesawat kargo. Jika pengawasan berjalan efektif, mengapa manajemen bisa sebebas itu?
Tentu tidak semua komisaris lalai. Namun, sistem yang membuka celah untuk penunjukan berdasarkan balas jasa politik—bukan meritokrasi—adalah sumber masalah. Komisaris seharusnya menjadi jangkar etika dan risiko perusahaan, bukan justru pelampung bagi elite yang kehilangan jabatan politik.
Dalam konteks tata kelola, dewan komisaris seharusnya menjalankan peninjauan strategis menyeluruh atas risiko dan kepatuhan. Terutama di sektor perbankan dan keuangan, pengawasan ini bersifat vital. Kita berbicara tentang uang rakyat yang bisa lenyap dalam hitungan klik jika kontrol internal longgar. Tapi, ketika komisaris lebih sibuk bermain golf atau menghadiri seminar yang hanya formalitas, tanggung jawab itu berubah menjadi seremoni belaka.
Fungsi pengawasan dan tata kelola strategis bukan sekadar mengecek kotak di daftar hadir. Komisaris harus aktif memahami model bisnis, struktur risiko, hingga rencana ekspansi. Namun, banyak di antara mereka bahkan tak mampu membaca neraca keuangan secara kritis. Kalau sudah begini, bagaimana bisa mengarahkan arah strategis perusahaan? Mereka hanya menandatangani laporan yang sudah “dandanan”, lalu mengacungkan jempol pada paparan PowerPoint yang penuh istilah indah tapi miskin substansi.
Dalam hal pengawasan risiko dan penyelarasan risk appetite, seharusnya ada pertanyaan kritis: Apakah strategi perusahaan sudah sesuai dengan kapasitas risiko? Apakah ekspansi atau investasi dilakukan berdasarkan studi kelayakan atau sekadar proyek ambisius demi gengsi? Bila jawabannya tidak jelas, maka komisaris seharusnya menyalakan alarm. Tapi di banyak kasus, mereka justru ikut menikmati perjalanan ke jurang, sambil duduk nyaman di kelas bisnis.
Penguatan kepatuhan dan integritas etis adalah pekerjaan rumah besar. Banyak BUMN mengadopsi kebijakan anti-korupsi, kode etik, hingga pelatihan whistleblower, tapi implementasinya sering hanya simbolik. Komisaris memiliki peran untuk mendorong budaya integritas dari atas, bukan ikut menari di lantai dansa nepotisme. Namun, ketika konflik kepentingan justru disahkan dalam bentuk RUPS, maka etika pun tinggal pasal di atas kertas.
Efektivitas dan akuntabilitas dewan komisaris harus ditopang dengan evaluasi berbasis kinerja, bukan sekadar senioritas atau kedekatan politik. Di beberapa negara seperti Singapura atau Belanda, jabatan komisaris ditentukan melalui proses ketat dan transparan. Di sana, posisi itu bukan hadiah, melainkan amanah. Di sini? Kadang cukup dengan pernah jadi juru bicara kampanye, kursi komisaris pun siap digelontorkan.
Dalam praktik terbaik tata kelola dewan, kita harus mulai dari keterbukaan informasi, rotasi jabatan, hingga pelatihan lanjutan. Komisaris tak bisa hanya modal “pengalaman organisasi” atau relasi, tapi harus mampu menavigasi isu-isu ESG, digitalisasi, dan risiko geopolitik. Ini bukan era komisaris gaya kolonial, melainkan era transparansi dan akuntabilitas.
Lalu bagaimana seharusnya kita memperbaiki ini semua?
Dorong penunjukan berbasis kompetensi melalui uji kelayakan publik dan keterlibatan independen. Jangan lagi menjadikan BUMN sebagai tempat parkir politik atau pensiun dini elite.
Wajibkan pelaporan publik tentang aktivitas pengawasan komisaris, termasuk ketidakhadiran, konflik kepentingan, dan rekomendasi strategis mereka.
Terapkan hukuman dan sanksi etis bagi komisaris yang terbukti lalai menjalankan tugas pengawasan, bukan sekadar menyalahkan direksi.
Integrasikan teknologi audit digital dan pemantauan risiko berbasis AI, agar komisaris tak hanya bertumpu pada laporan manual yang bisa dimanipulasi.
Dan yang tak kalah penting, perlu dukungan dari masyarakat sipil dan media dalam menyoroti peran komisaris, bukan hanya mengkritik direksi atau kementerian teknis.
Pada akhirnya, tata kelola yang baik tidak lahir dari struktur semata, melainkan dari kultur. Komisaris yang jujur dan berintegritas adalah penjaga terakhir dari etika publik dalam dunia korporasi. Jika mereka gagal, maka korupsi bukan hanya mungkin terjadi, tapi nyaris tak terhindarkan.
Kita tentu tak ingin terus menjadi negara di mana jabatan komisaris adalah karpet merah menuju bisnis rente. Sudah cukup kita disuguhi cerita BUMN bangkrut, proyek gagal, atau audit bermasalah. Yang kita butuhkan adalah komisaris yang tak hanya berpakaian rapi, tapi juga berpikir jernih, berbicara tegas, dan bertindak berani.
Karena di negara di mana korupsi kerap lebih lihai dari hukum, hanya komisaris berintegritaslah yang bisa jadi tembok terakhir sebelum semuanya runtuh. Jadi, wahai para komisaris, apakah Anda hanya menikmati kursi hangat… atau siap menyalakan alarm moral di tengah ruangan yang penuh kepura-puraan?
Baca juga: Indonesia: Mau Sampai Kapan Dibeli?
*Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)