Kemal H. Simanjuntak
Opini

Indonesia: Mau Sampai Kapan Dibeli?

Oleh: Oleh: Dr. Kemal H. Simanjuntak, MBA, GRCE*

Channel9.id-Jakarta. Politik dan bisnis Indonesia, saat ini, bagaikan sinetron yang tak pernah berakhir. Dalam setiap episodenya, kita disuguhkan dengan drama yang penuh dengan omon-omon, kasak-kusuk, dan praktik wani piro yang telah mendarah daging di setiap sendi kehidupan negeri ini. Dulu, mungkin semua itu terjadi secara sembunyi-sembunyi, tetapi sekarang? Semakin terang benderang, bahkan tak lagi malu untuk dipertontonkan.

Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada triwulan pertama 2024 yang mengungkapkan 57 kasus korupsi baru, dengan kerugian negara mencapai Rp 14,2 triliun. Dalam kasus paling menonjol, seorang pejabat tinggi di Kementerian Pertanian tertangkap tangan menerima suap terkait proyek pengadaan alat pertanian berbasis digital—bagian dari program strategis nasional. Berita ini diperkuat oleh laporan Tempo edisi April 2024 yang menyebutkan adanya “pasar gelap jabatan” di berbagai kementerian, termasuk tarif tak resmi senilai Rp 1,2 miliar untuk posisi strategis eselon II.

Ini baru yang tercatat dan sudah diketahui, sementara yang tidak terungkap bisa jadi lebih banyak lagi. Bahkan, menurut Corruption Perceptions Index (CPI) 2023 yang dirilis Transparency International, skor Indonesia menurun dari 38 ke 34 (dari skala 0–100), menempatkan Indonesia di peringkat ke-110 dari 180 negara. Skor ini menunjukkan semakin rendahnya kepercayaan publik terhadap integritas lembaga pemerintahan.

Tak peduli siapa yang berkuasa—baik pemerintahan lama maupun yang baru—praktik-praktik ini seolah menjadi sistem yang sudah terstruktur rapi. Bahkan dalam pembangunan besar-besaran seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), praktik jual-beli kepentingan bukan lagi rahasia. Dalam laporan investigasi Majalah Katadata (Maret 2024), disebutkan bahwa proses pengadaan lahan dan perekrutan tenaga ahli tidak luput dari proses “afiliasi politik” dan “harga loyalitas”. Harga jabatan berkisar antara Rp 500 juta hingga Rp 1,5 miliar, tergantung posisi dan kedekatan dengan pengambil keputusan.

Dalam proses pengadaan proyek APBD daerah, praktik transaksi di bawah meja pun marak. Menurut Indonesia Budget Center (2023), lebih dari 62% tender proyek daerah tidak memenuhi standar transparansi dan akuntabilitas, dengan modus favorit berupa “pengaturan pemenang tender” dan “uang pelicin”.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Sejak era reformasi membuka kran demokrasi dan desentralisasi kekuasaan, begitu pula pintu akses terhadap sumber daya negara terbuka lebar. Sayangnya, diikuti pula oleh kelonggaran pengawasan dan birokrasi yang koruptif. Dalam pandangan Susan Rose-Ackerman, profesor hukum dan ilmu politik di Yale University, “corruption flourishes in systems where rents are high, accountability is low, and institutions are weak” (Corruption and Government, 2016). Kalimat itu terasa sangat cocok menggambarkan kondisi kita hari ini.

Yang lebih parah, banyak orang menganggap praktik tersebut sebagai hal yang “wajar”. Ketika seseorang ingin maju dalam Pilkada atau Pemilu, biaya politik yang dibutuhkan bisa mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023, rerata biaya kampanye kepala daerah mencapai Rp 25 miliar, bahkan untuk provinsi besar bisa melebihi Rp 100 miliar. Maka tidak heran jika banyak calon pejabat datang ke kursi kekuasaan bukan untuk melayani, tetapi untuk “balik modal”.

Dalam The Logic of Political Survival (Bueno de Mesquita et al., 2003), dijelaskan bahwa dalam sistem patronase seperti ini, pemimpin cenderung memprioritaskan “koalisi kecil” pendukung loyal mereka—pengusaha, penyokong dana kampanye, dan elite politik—dibandingkan kepentingan rakyat banyak. Teori ini menjelaskan mengapa politik Indonesia kerap terjebak pada “balas budi kekuasaan” alih-alih pelayanan publik.

Namun, di tengah maraknya praktik transaksional ini, ada juga mereka yang mencoba bekerja dengan jujur. Sayangnya, mereka jarang muncul ke permukaan. Pejabat yang bekerja dengan integritas, pengusaha yang menjalankan bisnis dengan etika, dan para aktivis yang bersuara keras menentang korupsi, seringkali terpinggirkan. Karena yang lebih mengundang perhatian adalah yang kontroversial, yang mencolok, dan yang siap menawarkan solusi instan dengan harga yang pasti lebih murah.

Haruskah kita menyerah? Tidak.

Masih ada segelintir orang yang bertahan dan berjuang meskipun tampaknya tak ada ruang bagi mereka untuk berkembang. Banyak orang jujur yang berusaha meraih keberhasilan tanpa harus menjual nilai-nilai mereka. Tentu saja, perjuangan mereka jauh lebih sulit. Tetapi mereka ada dan terus bertahan. Mereka inilah sumber harapan kita.

Untuk mengubah keadaan, kita semua harus mulai dengan perubahan pola pikir. Tak cukup hanya berharap pada satu lembaga pemberantas korupsi atau pada satu pemimpin baik. Perubahan itu harus bersifat sistemik. Seperti dijelaskan Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam buku Why Nations Fail (2012), negara akan berhasil jika memiliki “inclusive institutions”—yakni sistem politik dan ekonomi yang mendorong partisipasi luas, bukan yang dikendalikan segelintir elite.

Masyarakat harus semakin cerdas dan kritis dalam memilih pemimpin. Menghindari politik transaksional bukan berarti menjadi puritan atau naif, tetapi lebih kepada memilih siapa yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat tanpa agenda tersembunyi. Demokrasi yang sehat membutuhkan warga negara yang melek politik, bukan sekadar pemilih pasif yang hanya tergiur oleh sembako dan janji-janji kampanye.

Membersihkan sistem yang telah membusuk selama puluhan tahun memang bukan perkara mudah. Tapi untuk negara sebesar Indonesia, ini adalah hal yang harus dimulai. Sekarang. Setiap individu, dari pejabat hingga rakyat biasa, harus bertanggung jawab atas keberlangsungan negara ini. Harus ada keberanian untuk menolak budaya sogokan, keberanian menuntut transparansi, dan keberanian menghentikan kebiasaan “wani piro” yang telah menular bahkan hingga ke generasi muda.

Tentunya, ini bukan hal yang bisa berubah dalam semalam. Perubahan besar membutuhkan waktu dan upaya yang tak sedikit. Tapi perubahan itu harus dimulai dari sekarang. Jika tidak, maka negeri ini akan terus dijajah oleh mereka yang hanya tahu membeli apa saja demi mencapai kekuasaan. Mereka akan terus mempermainkan kita, rakyat Indonesia, dengan jargon manis, tapi tetap beroperasi di belakang layar.

Saatnya bagi kita untuk berdiri tegak. Tidak hanya dalam pidato-pidato kosong yang penuh janji-janji indah, tetapi juga dalam tindakan nyata. Optimisme kita hari ini adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik. Kita harus yakin bahwa di tengah gelapnya praktik-praktik korup, masih ada jalan keluar yang benar dan lurus.

Optimisme bukan berarti menutup mata terhadap kenyataan yang ada, tetapi justru memilih untuk terus berjuang, walau tampak berat. Kita tidak bisa terus-menerus terperangkap dalam permainan ini. Kita harus memilih untuk tidak menjadi bagian dari sistem yang rusak ini. Kita harus memilih untuk melawan, meski kita tampak sendirian.

Indonesia tidak boleh dibiarkan jatuh ke tangan mereka yang hanya tahu cara membeli, menjual, dan memanipulasi negeri ini demi keuntungan pribadi. Indonesia tidak boleh dibeli. Karena harga diri bangsa ini jauh lebih mahal dari semua itu.

Baca juga: Tuntutan GRC pada Bank Digital 

Dan perubahan itu, harus dimulai dari kita.

*Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

14  +    =  24