Channel9.id-Jakarta. Komnas HAM mengkritik rencana Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres Tugas Tentara Nasional Indonesia Dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyatakan, rencana tersebut melanggar tata kelola pemerintah yang berbasic negara hukum.
“Jadi kami akan menyurati keberatan kami karena ancamannya ancaman keras. Tata kelola demokrasi berdasarkan negara yang punya basic negara hukum ini ditabrak,” katanya, Minggu (10/5).
Perpres Pelibatan TNI Mengatasi Terorisme merupakan tindak lanjut dari Perpres Nomor 42 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI.
Dalam Perpres Nomor 42 itu Jokowi mengesahkan pembentukan Komando operasi Khusus TNI (Koopsus TNI) yang salah satu tugasnya melakukan pencegahan, penindakan dan pemulihan aksi terorisme.
Anam menilai, draf perpres pelibatan TNI melanggar berbagai pasal di sejumlah undang-undang, mulai dari UU Terorisme hingga UU TNI.
Selain itu, pelibatan TNI mengatasi terorisme mengindikasikan pemerintah kembali pada paradigma lama saat TNI mendapat ruang berperan lebih dari fungsi militernya.
“Bertentangan sesuatu yang diatur dengan sesuatu yang sudah diatur di konstitusi. Ini tabrakannya banyak sekali, dan ini mengancam. Perpres ini mengancam TNI kita menjadi tidak profesional,” jelasnya.
Oleh karena itu, Anam meminta presiden melakukan evaluasi terhadap draf perpres itu. Pelibatan TNI yang begitu luas dalam Perpres itu seperti tindakan intelijen, penyelidikan, penyidikan hingga pemulihan, tidak begitu efektif dalam menangani persoalan terorisme.
“Lebih penting guru daripada TNI dalam konteks pencegahan radikalisme. Atau lebih penting psikolog daripada TNI dalam konteks misalnya pemulihan. Lebih penting kiai daripada TNI dalam konteks melawan doktrin-doktrin misalnya keagamaan,” katanya.
Kendati begitu, Komnas HAM pada dasarnya tak menolak sepenuhnya pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme. Hanya saja bentuk pelibatannya bukan lewat peraturan permanen seperti Perpres.
Menurut Anam, pelibatan TNI dalam operasi terorisme yang bersifat perang bisa dilakukan dengan mengatur skala dan target tertentu dalam pelibatan itu. Bila dilibatkan secara permanen, rentan melanggar HAM.
“Bukan sesuatu yang diatur permanen. Begini saja bahaya. Ini malah ngomong tindakan. Tindakan saja dibatasin, kok ini malah minta yang lain-lain,” pungkasnya.
(vru)