Channel9.id – Jakarta. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengusulkan agar pembahasan Perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) diperpanjang.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan, usulan itu berdasarkan ramainya kritik dan kekhawatiran masyarakat terhadap RUU TNI. Menurutnya, perhatian publik terhadap RUU ini harus didiskusikan lebih lanjut oleh DPR dan pemerintah.
“Kalau kita melihat pada proses pembahasan yang mendapatkan atensi publik, kritik dan juga kekhawatiran tertentu, menurut kami memang seharusnya proses pembahasan ini diperpanjang, sehingga apa yang menjadi aspirasi dan perhatian publik dapat didiskusikan lebih lanjut,” kata Atnike dalam konferensi pers di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (19/3/2025).
Atnike mengatakan, pihaknya telah memberikan rekomendasi kepada pembentuk undang-undang terkait dampak perluasan penempatan prajurit aktif dalam instansi sipil yang diatur dalam RUU tersebut.
“Jadi kalau kewenangan pembentukan undang-undangnya ada pada DPR dan Pemerintah, tapi Komnas HAM sudah memberikan catatan bahwa akan ada risiko-risiko dari perluasan jabatan sipil bagi militer. Dapat risiko juga terhadap persoalan-persoalan Hak Asasi Manusia,” kata Atnike.
Atnike berharap catatan risiko yang ditemukan Komnas HAM tidak terjadi jika RUU TNI disahkan.
Namun jika nantinya disahkan menjadi undang-undang, ia memastikan Komnas HAM akan mengawal implementas undang-undang tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM Anis Hidayah menyoroti minimnya transparansi dalam proses pembahasan RUU TNI. Menurut dia, kurangnya transparansi dalam penyusunan kebijakan bertentangan dengan prinsip demokrasi.
“Sebenarnya di dalam kajian kami juga sudah kami sampaikan bahwa proses revisi Undang-Undang TNI ini kami menilai adanya kurang transparansi ya, yang bertentangan dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang demokratis dan berbasis HAM, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,” kata Anis.
Lebih lanjut, Anis menyebut perubahan Pasal 47 ayat 2 dalam RUU TNI mengenai perluasan jabatan sipil untuk prajurit aktif berisiko menghidupkan kembali dwifungsi militer yang sudah dihapus pascareformasi 1998.
“Perubahan Pasal 47 ayat 2 berisiko menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI yang bertentangan dengan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia dan prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi,” ujar Anis.
Sebagai informasi, Komisi I DPR dan pemerintah telah menyepakati agar Perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dibawa ke pembahasan tingkat II atau Rapat Paripurna DPR, Kamis (20/3/2025).
Keputusan itu diambil di tengah ramainya penolakan RUU TNI dari elemen mahasiswa, akademisi, hingga para pakar. RUU ini dianggap berpotensi membangkitkan dwifungsi militer yang sudah dihapus sejak reformasi 1998.
Ada beberapa poin yang disoroti dalam naskah RUU TNI, mulai dari poin perluasan instansi sipil yang bisa diduduki prajurit aktif, kewenangan baru operasi militer, hingga penambahan batas usia pensiun.
Baca juga: RUU TNI Siap Disahkan Lewat Rapat Paripurna Hari Ini
HT