Channel9.id – Jakarta. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyampaikan, pihaknya menerima 241 laporan konflik agraria sepanjang 2020 dari 359 desa dan kota yang tersebar di sejumlah wilayah Indonesia.
“Sedangkan korban terdampak sebanyak 135.332 kepala keluarga,” kata Dewi berdasarkan rilis, Rabu 6 Januari 2021.
Dewi menjelaskan, dari jumlah itu, konflik paling tinggi terjadi di sektor perkebunan dengan total 122 kasus. Jumlah itu mengalami kenaikan sebanyak 28 persen dari konflik perkebunan pada 2019 lalu yang mencapai angka 87 konflik.
Menurut Dewi, konflik agraria seharusnya mengalami penurunan di tengah pandemi covid-19 yang juga berimbas kepada perekonomian dan kesehatan masyarakat.
Bahkan, Dewi menyebut terjadi anomali dalam persoalan konflik agraria sepanjang 2020. Menurut dia, ada keanehan yang terjadi lantaran konflik justru surplus saat ekonomi terjun dan masuk ke liang resesi.
“Logikanya, harusnya konflik ikut menurun drastis. Sebab rencana investasi dan ekspansi bisnis berskala besar harusnya menahan diri, lakukan efisiensi bisnis, modal berkurang signifikan, atau bahkan mengalami kolaps,” katanya.
Namun, justru yang terjadi sebaliknya, perampasan tanah berskala besar tidak menurun.
Menurut Dewi, hal ini secara nyata telah memperlihatkan bahwa pebisnis dan negara tidak bisa mengendalikan diri. Justru menjadikan krisis dan pembatasan gerak rakyat sebagai peluang untuk menggusur masyarakat dari tanahnya.
“Aksi-aksi perusahaan-perusahaan tersebut di tengah resesi ekonomi ini memperlihatkan bagaimana para pelaku bisnis atau badan usaha raksasa di sektor ini menggunakan momentum krisis untuk melakukan akumulasi kekayaannya dengan mengukuhkan klaim dan memperluas penguasaan tanahnya,” ujar Dewi.
(HY)