Channel9.id-Jakarta. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly agar RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi RUU prioritas.
Juru bicara KPK (Plt), Ali Fikri mengatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendukung penuh RUU tersebut karena bisa memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana, khususnya korupsi.
“KPK tentu menyambut baik usulan agar RUU Perampasan Aset Tindak Pidana untuk segera menjadi RUU Prioritas Tahun 2021 di DPR RI. Dengan menjadi UU, maka akan memberikan efek dan manfaat positif bagi dilakukannya aset recovery dari hasil Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) maupun TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang),” kata Fikri dalam keterangannya, Rabu (17/2).
Baca juga: PPATK: Dari 92, Beberapa Rekening FPI Terindikasi Sebagai Melawan Hukum
Ali menyampaikan, penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada penerapan sanksi pidana berupa pidana penjara saja. Dia menyatakan, penegakan hukum tindak pidana korupsi akan lebih memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi, jika aset dan harta benda yang diperoleh dengan cara ilegal dirampas untuk kepentingan negara.
“Akan lebih memberikan efek jera bagi para pelaku Tipikor maupun TPPU apabila juga dilakukan perampasan aset hasil Tipikor yang dinikmati oleh para koruptor,” tutur Ali.
Juru bicara KPK berlatar belakang Jaksa ini menuturkan, setelah pelaku tindak pidana korupsi dirampas, aset-aset yang diperoleh melalui korupsi dan pencucian uang dapat dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.
“Perampasan aset dari para pelaku berbagai tindak pidana korupsi dan TPPU dapat memberikan pemasukan bagi kas negara yang bisa dipergunakan untuk pembangunan dan kemakmuran rakyat,” pungkas Ali.
Sebelumnya, Ketua PPATK Dian Ediana Rae menyampaikan, Indonesia saat ini memiliki keterbatasan dalam melakukan penyelamatan aset (asset recovery) yang merupakan hasil tindak pidana (proceed of crimes). Sehingga menjadi penting, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dapat masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas).
Berdasarkan hasil pemantauan PPATK, diperoleh informasi, bahwa upaya asset recovery atas hasil tindak pidana di Indonesia belum optimal. Khususnya perampasan terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya, termasuk diantaranya hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia.
“Permasalahan tersebut di atas dapat diselesaikan dengan penetapan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. RUU ini telah diinisiasi penyusunannya oleh PPATK sejak 2008 dengan mengadopsi ketentuan dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan konsep Non-Conviction Based Forfeiture dari negara-negara common law,” kata Dian dalam keterangannya, Senin (15/2).
IG