Channel9.id – Jakarta. Komisi Pemilihan Umum (KPU) disebut-sebut melakukan pelanggaran administrasi pemilu lantaran tidak terpenuhinya target afirmasi keterwakilan 30 persen caleg perempuan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) di berbagai daerah.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai pengabaian KPU ini dapat berdampak pada pengabaian afirmatif 30 persen keterwakilan perempuan di Pemilu hingga ke tingkat kabupaten/kota.
“Tidak hanya di tingkat nasional, imbauan surat dinas yang ditujukan KPU kepada partai politik berdampak massif pengabaian affirmative action 30% keterwakilan perempuan sampai tingkat provinsi dan kabupaten/kota,” ujar Neni dalam Diskusi Media yang digelar Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia), Minggu (12/11/2023).
Neni lantas memaparkan hasil pemantauan DEEP Indonesia, di Provinsi Jawa Barat hanya Gerindra dan PKS yang memenuhi 30% keterwakilan perempuan di setiap dapil. Menurutnya, kondisi ini memperlihatkan kemunduran yang cukup serius terkait partisipasi perempuan dalam politik, baik dari hulu ke hilir ataupun hilir ke hulu yang terstruktur, sistematis, dan massif.
“Hal ini terjadi akibat KPU tidak menindaklanjuti secara serius putusan Mahkamah Agung melalui revisi PKPU Pencalonan,” tegasnya.
Ia menyoroti ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota terkait penggunaan rumus/formula penghitungan keterwakilan perempuan berupa pembulatan ke bawah. Ia menuturkan, aturan tersebut telah dikoreksi oleh Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan MA Nomor 24P/HUM/2023 pada 29 Agustus 2023.
Putusan MA tersebut memerintahkan KPU untuk mencabut Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, UU No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Neni menilai langkah KPU terkesan absurd, begitupun dengan partai politik yang sekadar menempatkan aturan kuota 30 persen caleg perempuan sebagai persyaratan administratif untuk mengikuti pemilu. Ia menilai partai politik tersebut tidak memiliki komitmen kesetaraan gender sehingga terjebak pada tafsir logika liberal.
“Kondisi ini sangat disayangkan karena semakin melemahkan gerakan perempuan di politik, belum lagi isu ini masih dianggap terpinggirkan,” pungkasnya.
Neni pun mendorong Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) segera menyampaikan hasil pengawasan pencermatan DCT kepada publik sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas hasil pengawasan.
Saat ini, KPU telah dilaporkan oleh Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan ke Bawaslu atas dugaan pelanggaran administrasi pemilu lantaran tidak terpenuhinya target afirmasi keterwakilan 30 persen caleg perempuan di banyak daerah pemilihan.
Dalam rilis Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang diunggah di perludem.org, Senin (13/11/2023), KPU tidak mengimplementasikan tata cara penerapan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan sebagaimana perintah UUD NRI Tahun 1945, UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (CEDAW) Pasal 245 UU No.7 Tahun 2017 yang mengatur bahwa daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui Putusan DKPP No.110-PKE-DKPP/IX/2023 juga menegaskan bahwa kebijakan keterwakilan perempuan melalui affirmative action dalam konstruksi hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah agenda demokrasi yang harus dijaga dan ditegakkan bersama, khususnya oleh KPU selaku penyelenggara pemilu.
Pasalnya, berdasarkan data Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, sebanyak 266 DCT dari total 1.512 DCT Anggota DPR Pemilu 2024 yang telah ditetapkan dan diumumkan KPU tidak memuat ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
HT