Hot Topic

Kuasa Hukum: Jaksa Tidak Punya Legal Standing Dalam Ajukan PK

Channel9.id- Jakarta. Jaksa KPK dianggap tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam kasus Syafruddin A. Temenggung yang diputus bebas oleh Mahkamah Agung. Hal tersebut disampaikan oleh Hasbullah SH, MH, Kuasa Hukum Syafruddin A. Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat (9/1/2020).

“Jaksa KPK tidak memenuhi syarat subjektif dan objektif dalam mengajukan PK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang mengatur bahwa pihak yang mempunyai hak mengajukan PK hanyalah terpidana atau ahli warisnya,” jelas Hasballah. Selain itu PK hanya untuk putusan pemidanaan sedangkan putusan menyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan tidak bisa diajukan PK.

Menurut Hasbullah, larangan jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK dalam perkara pidana juga ditegaskan dalam surat edaran MA No. 4 tahun 2014 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013. Dalam lampiran hasil rapat pleno kamar pidana dijelaskan, butir 3, jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK.

Sebab yang berhak mengajukan PK sudah jelas diatur dalam KUHAP Pasal 263 ayat (1), untuk tidak dapat ditafsirkan dan disimpangi serta sesuai dengan asas KUHAP bahwa hak-hak asasi terdakwa/terpidana lebih diutamakan. “Dalam butir 6, Majelis PK tidak dapat menjatuhkan pidana lebih berat daripada penjatuhan pidana oleh judex juris atau judex facti,” jelas Hasballah.

Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 dengan tegas menyatakan jaksa KPK tidak bisa mengajukan PK, MK memberikan penafsiran konstitusional atas ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP, Undang Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.

“Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana tidak mempunyai kekuatan hukum secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo,” tambahnya.

Praktis dengan adanya putusan MK tersebut mengakhiri silang pendapat, baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum tentang apakah Jaksa Penuntut Umum berhak mengajukan PK terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Karena Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan putusan MK No 33/PUU-XIV/2016, jelas menyatakan ada empat landasan pokok yang tidak boleh dilanggar dan ditafsirkan, yaitu :1)Peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2) Peninjauan kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.3) Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.4) Peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.

Dengan adanya pertimbangan SEMA dan Putusan MK, maka dapat disimpulkan bahwa Pengajuan PK oleh Pemohon PK tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 263. Subjek yang berhak mengajuan PK adalah terpidana ataupun ahli warisnya. Objek dari Peninjauan Kembali tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum.

Dalam Putusan kasasi MA No. 1555 K/Pid.Sus/2019 dinyatakan termohon PK dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum. “Dengan demikian, Pemohon PK tidak memiliki kedudukan hukum melakukan upaya peninjauan kembali karena tidak memenuhi syarat formil dan materil,” jelas Hasbullah.

Sidang perdana Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan jaksa KPK digelar pada hari ini di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat (9/1/2020).Jaksa mengajukan PK terhadap putusan bebas dan lepas oleh Mahkamah Agung (MA) terhadap Syafruddin Temenggung, dalam kasus SKL BDNI yang diberikan kepada Sjamsul Nursalim.

Jaksa Penuntut Umum mengatakan alasan pengajuan PK, adalah anggota Majelis Hakim MA melangar prinsip imparsialitas dalam memutus perkara. Sehingga putusan bebas terhadap Syafruddin Temenggung mengalami kekeliruan.

Disisi lain Jaksa mengakui adanya putusan MK yang melarang adanya pengajuan PK, yakni putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan JPU tidak dapat mengajukan PK di dalam perkara pidana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4  +  5  =