Opini

Lebaran Berbeda Hari

Oleh: Muhamad Yusuf Kosim

Channel9.id – Jakarta. Sabtu, 4 April 1992, sekitar pukul 1 tengah malam, di bulan Ramadan. Kami yang saat itu biasa tidur di musholla kampung, baru beranjak tidur. Tiba-tiba dibangunkan oleh pengurus musholla untuk takbiran. Kaget bukan kepalang.

Infonya masjid acuan daerah kami sudah takbiran. Pengurus musholla sudah mengeceknya secara langsung, dan memang di sana sudah takbiran. Padahal lebaran di kalender pemerintah adalah Minggu, 5 April 1992.

Sebagai orang yang biasa tidur di musholla, langsung lari ke arah bedug, ambil pukulan bedug, lalu ditabuh. Teman yang lainnya mengumandangkan takbir melalui toa. Jadilah tengah malam itu takbiran.

Gegerlah kampung itu. Orang-orang keluar rumah bertanya-tanya kepastian takbiran di tengah malam buta itu. Tahun itu sumber informasi masih sangat terbatas, tidak seperti sekarang sumber informasi panting sliweran. Itu di Jakarta.

Tanpa ada ribut-ribut, orang-orang menyiapkan diri untuk persiapan besok pagi berlebaran. Tengah malam itu pula, orang-orang sibuk memasak yang seharusnya untuk sahur berganti menjadi memasak untuk lebaran, termasuk bikin kue lebaran.

Kue-kue tradisional khas lebaran dikebut bikinnya agar selesai sebelum sembahyang Idul Fitri di pagi hari. Terutama ibu-ibu pontang-panting menyiapkan segala keperluan lebaran, jangan sampai besok pagi saat lebaran tidak ada apapun untuk disediakan buat orang rumah dan para tamu. Makanan khas lebaran tetap harus tersedia.

Kita sebenarnya sudah biasa berbeda hari lebaran. Bukan sekali dua kali. Bedanya, dulu tidak pernah ribut-ribut, ikuti saja. Dalam kondisi waktu yang mepet pun tetap bisa berlebaran dan besoknya tersedia makanan khas lebaran. Orang menyambutnya riang gembira, meskipun terlihat wajah lelah ngebut memasak dalam waktu singkat.

Berbeda dengan sekarang, sumber informasi terlalu banyak dan mudah. Bahkan orang-orang tidak memiliki kompetensi keilmuan tentang penentuan lebaran, ngotot berpendapat tentang kebenaran pendapatnya. Sementara orang-orang yang memiliki kompetensi dengan mudahnya disalahkan. Begitulah dunia saat ini, dalam bidang hal apapun juga, tidak hanya dalam penentuan hari lebaran. Orang tidak sekolah merasa lebih pintar dari orang yang sekolah. Orang tidak pernah ngaji bisa menyalahi orang yang ngajinya berpuluh-puluh tahun.

Tidak heran, orang dulu lebih berkah hidupnya dibandingkan orang-orang sekarang. Hidupnya pun lebih tentram. Mereka lebih “nrimo” dan patuh. Tidak ngeyelan. Ikut saja orang yang dianggap lebih pintar.

Dalam hal hari lebaran yang berbeda, sebenarnya sederhana saja. Jika ada perbedaan, tinggal ikuti saja yang menjadi keyakinan. Jika memiliki afiliasi pada kelompok komunal tertentu, misal ormas Islam tertentu, tinggal ikut saja. Jika tidak, ikut pemerintah. Semua ada penanggungjawabnya. Aman.

Lebaran berbeda hari tidak perlu ribut-ribut tanpa ujung. Tidak ada gunanya. Toh, akhirnya makan ketupat dan sayur opor ayam juga.

Baca juga: Rabithah Alawiyah Nyatakan Ikut Pemerintah: Idul Fitri Sabtu 22 April

Baca juga: Dzikirnya Tukang Ayam

Selamat lebaran. Mohon maaf lahir batin. “Minal Aidin wal Faidzin”.

Penulis adalah Alumni Departemen Antropologi FISIP UI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  77  =  82