Oleh: Awalil Rizky*
Channel9.id-Jakarta. Pemerintah, terutama pihak Kementerian Keuangan, makin sering mengutarakan Indonesia lebih baik dari banyak negara lain dalam hal dampak pandemi atas kondisi fiskal. Secara lebih khusus, tentang defisit anggaran dan rasio utang pemerintah atas Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasar sumber data yang sebagian besar serupa dengan Kemenkeu, yaitu dari International Monetary Fund (IMF), penulis memiliki pandangan berbeda.
Pada Rabu (3/3/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, realisasi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2020, lebih baik dibanding berbagai negara lain. Defisit APBN sebesar Rp956,3 triliun, yang setara dengan 6,09 persen dari PDB disebut lebih rendah dibanding India, Filipina, hingga Malaysia.
Sebelumnya, pada Selasa (23/2/2021), Menteri Keuangan menyebut, rasio utang pemerintah mencapai 38,5% pada tahun 2020. Rasionya bertambah 8,5% atas PDB dari rasio tahun 2019. Namun, menurutnya hal itu terjadi ketika semua negara melakukan countercyclical, terutama menggunakan instrumen APBN yang menyebabkan defisit meningkat dan rasio utang publik meningkat.
Menkeu menilai kenaikan utang yang hanya satu digit tersebut masih lebih baik ketimbang negara lainnya. Dalam salah satu slide paparan Menkeu, besarnya tambahan rasio utang Indonesia memang tampak urutan keempat terendah dari tampilan data 16 negara. Campuran dari negara sebaya (peers) dan negara maju.
Pada slide yang sama, ditampilkan besaran rasio defisit atas PDB masing-masing negara. Tampak Indonesia menempati urutan kelima terendah.
Sebelumnya, Nota Keuangan dan APBN tahun 2021 secara khusus menyajikan grafik perbandingan rasio utang pemerintah dan perubahannya dari 11 negara. Negara emerging economies atau yang sebaya sebanyak 7 negara, termasuk Indonesia. Negara advanced economies sebanyak 4 negara. Data yang dipakai bersumber dari estimasi International Monetary Fund (IMF) pada World Economi Outlook (WEO) edisi Juni 2020. Tampak ingin memberi pesan, terdampak lebih kecil dari 7 negara lain dalam grafik itu.
Sebaiknya kita cermati lebih teliti berbagai besaran yang disampaikan di atas. Pertama, nilai PDB nominal tahun 2020 telah diumumkan oleh BPS pada 5 Februari 2021, yaitu sebesar Rp15.434,2 triliun. Cukup mengherankan, jika pihak Kemenkeu masih terus mengemukakan rasio defisit dan rasio utang yang berdasar prakiraan beberapa bulan lalu.
Besaran defisit realisasi sementara APBN 2020 adalah sebesar sebesar Rp956,3 triliun. Artinya rasio defisit atas PDB menjadi sebesar 6,20%. Dari posisi utang pemerintah sebesar Rp6.074,56 triliun, maka rasionya atas PDB sebesar 39,36%. Keduanya lebih tinggi dari publikasi realisasi sementara APBN 2020 atau APBN Kita edisi januari 2021, yang hingga kini masih dipakai dalam paparan Kemenkeu.
Kedua, IMF biasa melakukan perubahan estimasi (update) tiap beberapa bulan. Kondisi pandemi tahun 2020 membuat perubahannya lebih signifikan dari biasanya. Update data terkini IMF dilakukan pada Januari 2021, dalam publikasi “Fiscal Monitor Update”. Data proyeksi Indonesia termasuk di dalamnya, meski belum semua negara dimutakhirkan.
Dibandingkan update Juni 2020 dan Oktober 2020, beberapa negara menjadi lebih buruk, dan sebagian lebih baik dari prakiraan semula. Baik untuk kondisi tahun 2020, maupun tahun 2021. Data yang dipakai oleh paparan Menkeu dalam hal rasio utang adalah dari update Oktober 2020.
Ketiga, proyeksi WEO IMF atas rasio utang disajikan hingga tahun 2021. Dan sewajarnya analisis dampak pandemi atas hal ini adalah hingga tahun depan. Paparan Menkeu yang bersumber dari WEO IMF tidak menyajikan proyeksi hingga tahun 2021. Padahal, ada negara yang rasionya diproyeksikan turun atau stagnan pada tahun 2021. Sedangkan untuk Indonesia, masih akan naik secara signifikan.
Perhitungan tambahan rasio utang selama dua tahun berdasar estimasi WEO Januari 2021 memperlihatkan Indonesia termasuk yang terdampak buruk. Bertambah sebesar 8,1%, dari 30,6% pada tahun 2019 menjadi 38,7%. Diprakirakan oleh IMF masih akan meningkat menjadi 43,1% pada tahun 2021.
Artinya rasionya bertambah sebesar 12,5% selama 2 tahun. Jika yang dianalisis adalah tambahan selama 2 tahun itu, tampak Indonesia termasuk yang buruk dari 7 negara peers yang disajikan oleh Nota Keuangan dan APBN 2021. Hanya lebih baik dari Afrika Selatan.
Keempat, pada tahun 2019 atau sebelum pandemi, rasio utang Indonesia memang relatif lebih rendah dari negara peers. Apalagi jika dibanding dengan negara advanced economies yang pada umumnya memiliki rasio utang yang tinggi. Untuk menganalisis dampak pandemi, dapat dilihat dalam persentase kenaikannya. Bukan hanya membandingkan tambahan besaran rasionya saja.
Sebagai contoh, Jepang. Dalam grafik Nota Keuangan dan APBN 2021 serta paparan Menkeu (23/2/2021) dikesankan kenaikan yang jauh lebih tinggi dari Indonesia. Padahal dalam persentase kenaikan berdasar update terkini, Jepang hanya bertambah 10,27%. Dari rasio sebesar 234,6% pada tahun 2019, menjadi sebesar 258,7% pada tahun 2020. Bahkan, rasionya diproyeksikan tetap bertahan sebesar itu pada tahun 2021. Artinya, selama dua tahun, rasionya hanya naik 10,27%.
Sementara Indonesia naik sebesar 26,47%, dari 30,6% pada tahun 2019 menjadi 38,7% pada tahun 2020. Rasio diprakirakan masih meningkat menjadi 43,1% pada tahun 2021. Artinya kenaikan rasio selama dua tahun mencapai 40,85%.
Dengan cara analisis dampak berupa persentase kenaikan rasio utang, Indonesia termasuk kelompok negara yang paling terdampak. Lebih buruk dari kebanyakan negara.
Kelima, defisit anggaran sebaiknya dibandingkan pula dengan berapa besar alokasi anggaran untuk penanganan pandemi covid-19 dan dampaknya. WEO IMF menyediakan data untuk hal tersebut, dan sempat dikutip beberapa kali oleh Kemenkeu. Data terkini yang dimutakhirkan oleh IMF nyaris tidak pernah dikedepankan lagi.
Dua negara yang menjadi contoh dalam paparan Menkeu sebagai memiliki rasio defisit yang lebih besar dari Indonesia adalah Malaysia dan Jepang. Malaysia mengalami defisit 6,5% dari PDB. Namun, IMF menginformasikan (update Januari 2021) bahwa alokasi untuk respon atas pandemi covid-19 sebesar 7,9% dari PDB. Jepang memang mengalami defisit sebesar 14,2%, namun alokasi respon pandeminya mencapai 44% dari PDB. Sedangkan, Indonesia dengan defisit sebesar 6,2%, hanya mengalokasikan sebesar 3,6% dari PDB.
Bagaimanapun, penulis percaya Pemerintah telah bekerja keras mengatasi dampak pandemi, serta cukup berhati-hati mengelola fiskal dan utangnya. Namun, penjelasan seolah Indonesia lebih baik dalam artian terdampak lebih kecil dari negara lain dalam hal fiskal dan utang tidak lah berdasar data yang memadai. Indonesia memang bukan yang terdampak paling buruk, namun tidak termasuk yang lebih baik dari banyak negara lain.
Upaya penjelasan demikian juga kurang jelas kegunaannya bagi sosialisasi kebijakan. Jika pun Kemenkeu ingin melakukan perbandingan antar negara, lakukan dengan cara dan data yang lebih fair serta berdasar data terkini.
*Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri