Channel9.id – Jakarta. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) melayangkan surat laporan ke Dewan Pengawasan (Dewas) KPK atas dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Deputi Penindakan KPK, Karyoto, Selasa (26/5).
Surat pelaporan tersebut dilayangkan MAKI melalui Via Email. Dugaan pelanggaran etik tersebut berkaitan dalam memberikan release kegiatan OTT di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 20 Mei 2020.
Tidak hanya soal release, MAKI juga melaporkan ke Dewas KPK soal giat operasi tangkap tangan di Kemendikbud yang melibatkan staf UNJ.
MAKI, melalui koordinatornya, Boyamin Saiman membeberkan dugaan pelanggaran etik tersebut, dengan terinci:
A. Kegiatan Realese oleh Karyoto
1. Karyoto melakukan release sendirian, hal ini bertentangan dengan arahan dan evaluasi Dewan Pengawas KPK yang berisi bahwa yang diperkenankan memberikan pernyataan terkait penanganan suatu perkara (kasus) kepada media adalah Pimpinan KPK dan atau Juru Bicara KPK
2. Penyebutan nama-nama secara lengkap tanpa inisial terhadap orang-orang yang dilakukan pengamanan dan atau pemeriksaan. Padahal, semestinya penyebutan nama dengan inisial demi azas praduga tidak bersalah dan selama ini release atau konpers KPK atas kegiatan tangkap tangan (OTT) selalu dengan penyebutan inisial untuk nama-nama yang terkait dengan OTT
3. Karyoto dalam narasi pembukaan awal release menyatakan “merespon pertanyaan rekan-rekan wartawan soal informasi adanya kegiatan OTT, dapat kami jelaskan sebagai berikut: “hal ini diduga tidak benar karena informasi OTT tidak bocor sehingga tidak ada wartawan yang menanyakan kabar OTT dan diduga OTT diberitahukan oleh Karyoto kepada wartawan dalam bentuk release.
B. Kegiatan tangkap tangan
1. Kegiatan tangkap tangan terhadap staf UNJ di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diduga tanpa perencanaan matang dan tidak detail mulai dari penerimaan pengaduan masyarakat sampai dengan keputusan untuk melakukan giat tangkap tangan.
Semestinya, sebelum melakukan kegiatan tangkap tangan sudah dipastikan apa modusnya, apakah suap atau gratifikasi dan siapa penyelenggara negaranya, sehingga ketika sudah dilakukan giat tangkap tangan tidak mungkin tidak ditemukan penyelenggara negaranya.
2. Perencanaan dan analisa perkara terhadap kegiatan tangkap tangan diduga tidak melibatkan Jaksa yang bertugas di KPK, hal ini berdasar hasil giat tangkap tangan yang gagal karena semestinya jika OTT dilakukan dengan melibatkan Jaksa, semestinya tidak gagal sebagaimana selama ini terjadi di KPK.
Dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan penanganan perkara termasuk OTT, semestinya melibatkan Jaksa sebagai pengendali penanganan perkara untuk memastikan materi substansi peristiwa, kapan eksekusi penangkapan dan penahanan, kewenangan para pihak, dan analisis SWOTnya ;
3. Pelaksanaan giat tangkap tangan diduga tidak tertib dan tidak lengkap. Administrasi penyelidikan sebagaimana ditentukan SOP dan KUHAP untuk pengamanan sesorang atau penangkapan dan permintaan keterangan para pihak dari Staff dan Rektor UNJ. Semestinya jika giat tangkap tangan ini bagus dengan segala administrasnya, maka potensi gagal adalah kecil
4. Kegiatan tangkap tangan sesuai prosedur standar adalah dilakukan penyadapan terhadap pihak-pihak terkait. Dalam kegiatan tangkap tangan ini jika dilakukan penyadapan maka Saya yakin tidak ada izin penyadapan dari Dewan Pengawas atau jika tidak dilakukan Penyadapan maka telah melanggar SOP KPK.
“Kami membatasi diri untuk tidak memasuki pokok perkara apakah dalam OTT tersebut terdapat tindak pidana korupsi (TPK) atau tidak ada Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya, menyerahkan sepenuhnya kepada Dewas KPK untuk menindaklanjuti laporan ini sesuai ketentuan yang berlaku,” Boyamin mengakhiri.
(Hendrik)