Hot Topic

Mantan Anggota JI Beberkan Kekeliruan Kelompok Radikalisme

Channel9.id – Jakarta. Mantan Anggota Jamaah Islamiyah Nasir Abas menyatakan, berdasarkan pengalaman pribadinya, ada kekeliruan yang patut diluruskan di dalam kelompok radikalisme, khususnya yang mengatasnamakan agama.

Menurutnya, tindakan kejahatan atas nama agama tidak bisa dibenarkan.

“Alhamdulikah 2003 saya keluar dari kelompok itu karena kejahatan yang dilakukan. Saya juga sudah meyakini bahwa apa yang saya yakini dahulu ada kekeliruan dan patut diluruskan. Hingga sekarang saya masih aktif melakukan deradikalisme,” kata Nasir dalam Webinar, Jumat (26/6) malam.

Nasir menceritakan pengalaman pribadinya saat menjadi anggota kelompok tersebut. Pertama kali direkrut, Nasir mengaku dihasut untuk menolak semua hal yang tidak menjadikan Islam sebagai hukum tertinggi. Nasir digodok oleh kelompok tersebut sehingga timbul perjuangan mendirikan Khilafah Islamiyah di muka bumi.

“Mereka berkata Indonesia itu menolak Islam. Pemerintah anti Islam. Musuh Islam. Saya menerima saat itu,” katanya.

Nasir pun mengaku sudah beberapa kali ikut serta dalam sejumlah konflik di sejumlah negara.

Pada 1987, Nasir berjuang dengan para Mujahid untuk mendirikan Khilafah Islamiyah di Afganistaan. Umur Nasir saat itu masih 18 tahun. Lima tahun kemudian, Mujahid Afganistan berhasil menggulingkan pemerintah. Kelompok tersebut pun membuat Afganistan menjadi Pemerintahan Mujahidin Muslim Afganistan.

“Saat itu saya senang sekali, cita-cita kami terwujud,” ujar Nasir.

Namun, setahun kemudian, muncul kelompok Taliban yang tak puas dengan pembentukan Mujahidin Muslim Afganistan. Kemudian, kelompok Taliban menyerang pemerintahan.

“Dari situ saya berpikir, kok Islam membunuh Islam. Padahal sudah didirikan negara Islam. Apalagi terjadi baku tembak,” kata Nasir.

Melihat hal itu, Nasir pun memutuskan untuk pulang. Dia mengaku tak mau ikut konflik fitnah muslim.

“Tapi saya ditawari melatih muslim Rohingya di Myanmar. Mereka juga cita-citanya sama, ingin memisahkan diri dari Myanmar dan mendirikan negara Islam. Tapi saya berpikir, mereka itu minorias. Apalagi status mereka ga jelas, ikut Banglades atau Myanmar,” lanjutnya.

Di sisi lain, Nasir menilai konflik yang terjadi di Ambon Poso. Menurutnya, konflik itu bermula dari masalah kriminal. Namun, diplesetkan menjadi masalah SARA. Sebab, dengan membawa isu SARA, khususnya agama, bisa melanggenglan konflik terus menerus.

“Indonesia bukan tempat konflik, Poso sudah selesai dengan perjanjian Malino. Tetapi ada sisa yang ingin melanjutkan,” kata Nasir.

Berdasarkan semua hal itu, Nasir pun menyimpulkan, semua masalah tersebut berakar dari ego masing-masing kelompok, bukan soal agama.

“Dari pengalaman saya, mereka semua mempertahanakn suku, kaum sendiri, kelompok-kelompok mereka,” tegasnya.

Nasir pun sadar, Indonesia tak pantas mendirikan negara Islam karena terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan ras. Menurutnya, konsep yang mempersatukan itu adalah Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945.

“Sedangkan di negara lain. Mereka tidak menghargai suku suku lain. Jadi terjadi konflik terus menerus,” ujarnya.

Oleh karena itu, Nasir menyarankan, bibit-bibit radikalisme harus dicegah. Bibit-bibit itu, katanya, jangan sampai muncul dan membahayakan bagi umat manusia.

(HY)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4  +  3  =